Oleh: Sheila Giza*
Dewasa ini, banyak yang masih menganggap kaum LGBT (lesbian,
gay, biseksual dan transgender) adalah mereka yang memiliki kelainan
seksual dan perilaku. Meski pada 15 Desember 1973 Asosisasi Psikiater Amerika
(APA) menghapus homoseksual dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional. Di
tingkat internasional serta para ahli jiwa di Indonesia juga ikut mengeluarkan
perilaku homoseksual dari gangguan kejiwaan yang tercantum pada Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993, namun kelompok
LGBT masih menuai banyak permasalahan terlebih pada mereka yang homofobia (Arus
Pelangi, 2008: 23).
Tidak
sedikit, kelompok minoritas tersebut mengalami stigma, diskriminasi bahkan
kekerasan secara simbolik. Media massa memiliki andil
mengkonstruksi hal itu. Media menyuguhkan berita mengenai isu LGBT dengan
pembahasan permasalahan yang tidak sesuai dengan konteksnya. Menurut riset
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) periode 15 Juli 2015 sampai 20 Agustus 2015 melaporkan,
media online menempati urutan
tertinggi dalam menyuguhkan pemberitaan terkait isu LGBT yang sering mengupas
isu ekonomi serta identitas seksual pada urutan tertinggi dan isu kekerasan
seksual kelompok LGBT berada pada urutan terendah. Ini membuktikan bahwa
kekerasan seksual yang mengarah pada pelanggaran HAM yang dialami kelompok LGBT
terkesan ditutupi dan dibiarkan menguap tanpa adanya penyelesaian yang jelas.
Di sisi lain, cara memandang kelompok LGBT tersebut memunculkan ekses berupa
mengentalkan kekerasan dalam bentuk lain yang dikenal sebagai stigma ganda.
Data yang diperoleh dari penelitian Arus Pelangi tahun 2013, kelompok
LGBT mengaku sering mengalami kekerasan pada tiga tahun terakhir. Kelompok
lesbian sebanyak 84 orang (89,4%), kelompok gay sebanyak 68 orang (94,4%),
kelompok waria sebanyak 104 orang (87,4%) dan kelompok biseksual sebanyak 43
orang (86%). Apabila data tersebut diakumulasi, sebanyak 89,3% kelompok LGBT di
Indonesia mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender, serta
ekspresi gender. Kekerasan yang dialami kelompok LGBT ada pada kategori
kekerasan psikis dengan prosentase tertinggi sebanyak 79,1%, kekerasan budaya
dengan prosentase 63,3%, kekerasan fisik dengan prosentase 46,3%, kekerasan
seksual dengan prosentase 45,1%, serta di urutan terakhir adalah kekerasan
ekonomi dengan prosentase sebesar 26,3%.
Selain data dari Arus Pelangi, Ardhanary Institute yang dikutip dari CNN
Indonesia memberikan data kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT sebanyak 37
kasus kekerasan berbasis orientasi seksual, gender, identitas gender serta
ekspresi gender pada tahun 2014 dan 34 kasus kekerasan seksual pada tahun 2015.
Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL INA) juga memberikan data kekerasan terhadap
gay dan transgender yang ditemukan sebanyak 26 kasus di tahun 2015 dan 1 kasus
di tahun 2016.
Istilah stigma ganda menyerupai pemahaman beban ganda pada isu-isu feminisme yang melihat eksistensi pada
dua domain yakni domestik dan publik. Stigma ganda di sini dimaknai sebagai
beban ganda yang disematkan publik kepada kelompok LGBT di tengah upayanya
untuk hidup normal laiknya manusia. Ganda bukan soal deret angka antara nol
sampai sembilan, melainkan kualitas yang melampaui kuantitas. Stigma terjadi
berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat yang semuanya menyudutkan LGBT.
Stigma paling awal muncul dari sebuah pertentangan antara yang usual dan unusual atau ‘kodrat’ dan ‘tak kodrat’. Comman sense yang mengambang laiknya buih di atas aliran air ini
mudah diomban-ambingkan dengan arus utama sebuah opini yang cenderung menggerus
makna manusia. Kodrat manusia dipersipkan pada umumnya sebagaimana dijumpai,
dialami dan diyakini tanpa melihat kemungkinan-kemungkinan lain. Sebagai
manusia, LGBT, dinilai menyalahi ‘kodrat’ karena dianggap bertentangan dengan
ajaran agama apapun, stigma sebagai manusia yang tidak bermoral dan yang lebih
menyakitkan kala mereka dianggap sebagai penyebab
utama penularan virus HIV/AIDS yang salah satunya pada kategori LSL (lelaki
suka lelaki).
Stigma tersebut diyakini hasil dari kontruksi sosial yang berkembang di
masyarakat karena berkaitan erat dengan lingkungan serta nilai-nilai yang
dianut dalam budaya patriarki yaitu heteronormativitas atau pandangan yang
mengharuskan laki-laki dan perempuan tunduk pada aturan heteroseksualitas. Inti
dari heteronormativitas adalah fungsi prokreasi seksualitas atau berkembangbiak
yang
diperjelas dengan dikeluarkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga, bagi siapa saja warga negara yang
tidak taat pada budaya heteronormativitas,
dianggap sebagai perilaku menyimpang. Pengotakan tersebut yang
memunculkan label/stigma negatif yang melekat pada diri mereka juga kian
melekat di benak masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan, salah satu stigma negatif masyarakat yang
sangat menyakitkan adalah menganggap bahwa kelompok LGBT pada kategori LSL
merupakan penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia. Meski kategori
LSL juga ikut menyumbang dalam penyebaran virus HIV/AIDS, tidak serta merta
masyarakat berargumen bahwa LSL merupakan penyebab utama dari penularan virus
mematikan tersebut. Pandangan itu seharusnya disertai dengan berbagai bukti,
data, serta penelitian yang valid agar
tidak menjadikan kelompok LGBT semakin termarjinalisasi.
Stigma HIV/ADIS
Kita tahu bahwa perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia cukup cepat yang
tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun merambah di seluruh pelosok
negeri. Tidak
dapat dipungkiri, penyebaran virus tersebut dikarenakan semakin padatnya jumlah
penduduk, mobilitas masyarakat yang cukup tinggi, kurangnya informasi akan
kesehatan serta lingkungan yang mendorong untuk melakukan hubungan seksual
berisiko tinggi (seks bebas). Penyebaran penyakakit HIV/AIDS seperti fenomena
gunung es.
Temuan kasus
jumlahnya kian meningkat, tetapi masih banyak jumlah ODHA yang belum diketahui.
Berbagai cara dan pencegahanpun telah diupayakan Kementerian Kesehatan, Dinas
Kesehatan serta lembaga-lembaga terkait, namun tetap saja kasus HIV/AIDS masih
berada pada titik tertinggi untuk penyakit mematikan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya dari sosialisasi sebagai
pencegahan, konseling sebagai pengetahuan kesehatan serta pendampingan sebagai
pengobatan dan membangkitkan semangat hidup ODHA, layaknya masih harus
dievaluasi kembali mengingat virus HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan
dan selalu menjadi isu nasional yang harus segera di cari solusi terbaik. Solusi
tidak hanya berasal dari pemerintah dan dinas-dinas terkait, namun juga peran
serta masyarakat yang aktif dalam membantu menanggulangi virus HIV/AIDS.
Berdasarkan data terbaru yang dihimpun dari Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia hingga tahun 2015 menunjukkan, kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin
meningkat. Temuan kasus HIV/AIDS pada tahun 2015 sebanyak 735.256 orang dengan
jumlah infeksi baru sebanyak 85.523 orang. Jumlah angka kumulatif temuan kasus AIDS
di Indonesia terbanyak pada kategori laki-laki dengan prosentase sebesar 55%,
perempuan sebesar 32% dan tidak melaporkan jenis kelamin sebesar 13% yang
jumlahnya meningkat sebanyak 4% pada tahun sebelumnya. Kategori tidak
melaporkan jenis kelamin dalam data
itu diindikasikan sebagai mereka yang berstatus sebagai transgender terutama
laporan terbanyak pada variabel jenis kelamin yang tidak terisi berasal dari
Provinsi DKI Jakarta dan Papua Barat sesuai data dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Dari data itu,
secara gamblang menyebutkan kategori homoseksual menyumbang temuan kasus AIDS
sebesar 7,4%. Sedangkan faktor resiko heteroseksual menempati urutan tertinggi
di banding dengan yang lain, sebesar 82,8%. Hal tersebut seharusnya dapat
menjadi bukti nyata bahwa anggapan masyarakat terkait LSL sebagai penyebab
utama penyebaran virus HIV/AIDS adalah tidak benar. Justru kaum heteroseksual
sebagai penyumbang tersbesar, namun kelompok ini luput dari stigma masyarakat.
Hal ini barangkali bisa diasumsikan tidak adanya sebuah asosiasi kelompok dari
kaum heteroseksual yang dapat disalahkan (blaming)
dibandingkan kaum LSL yang secara nyata mengukuhkan dirinya sebagai kelompok
yang mulai terbuka (coming out).
Tantangan VCT
Stigma negatif terhadap LSL yang dilatarbelakangi oleh keterbukaan setiap
individu LGBT mengenai orientasi seksual, dijadikan alasan sebagai penyebab
utama penyebaran virus HIV/AIDS yang terlanjur menjamur di masyarakat. Melihat
keprihatinan akan peningkatan penderita HIV/AIDS pada kategori LSL, maka
individu gay di beberapa kota di Indonesia rutin melakukan tes HIV/AIDS serta
konseling yang bertujuan untuk menekan peningkatan penderita HIV/AIDS dan
menjaga kesehatan reproduksi meskipun jumlah individu gay yang secara sukareka
mengikuti VCT (voluntary counseling and
testing) sangat sedikit.
Tes ini dilaksanakan untuk mengatahui, ada atau tidaknya virus HIV/AIDS
yang bersemayam dalam diri seseorang dengan cara mengambil sampel darah. LSL
merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang beresiko tinggi terkena virus
ini, sehingga tes merupakan langkah yang wajib dilakukan. Semakin cepat
terdeteksi, semakin cepat pula pengobatan dan penanganannya, sehingga seseorang
dapat diselamatkan dari virus HIV/AIDS.
Lokasi pemeriksaan bisa bertempat di puskesmas, rumah sakit atau
pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan dinas terkait. Fasilitas kesehatan
milik pemerintah telah memiliki standar operasional prosedur yang memperlakukan
dengan ramah kelompok ini. Misalnya dengan membuat menambah jam pelayanan
hingga malam hari dan menambah jam kerja, sehingga memungkinkan kelompok ini
dapat dengan mudah mencari waktu yang tepat dan longgar untuk memeriksakan diri
setelah selesai dengan rutinitas pekerjaan. Salah satu keberhasilan dari
penanganan penyakit menular adalah deteksi dini.
Persoalannya, deteksi dini pada LSL sulit dilakukan, karena sebelum kaki
mereka menginjak fasilitas kesehatan, rentetan stigma telah disandang, sehingga
untuk membuka diri atau mengakui diri sebagai gay di hadapan sesama gay,
misalnya, memerlukan sebuah keberanian. Terlebih mengakui bagian dari LSL di
depan dokter atau perawat yang baru dikenalnya. Hal ini merupakan tantangan
dalam program VCT. Namun, keberaniannya melaksanakan tes tersebut, memiliki
makna luas. Tidak sekadar mengikuti program pemerintah, tetapi juga melawan
berbagai stigma yang telah disematkan kepadanya.
Seorang aktivis gay di Kota Semarang, Jawa Tengah, menceritakan upaya
mengajak LSL melalui strategi tutor sebaya atau teman sesama gay. Cara ini
efektif diterapkan. Dalam waktu beberapa tahun, sudah ada ratusan gay yang
terlibat VCT. Namun, diakuinya masih banyak yang enggan yang dipicu antara lain
soal stigma yang berdampak pada ketertutupan diri sendiri.
Stigma yang telah melekat pada individu gay menjadikan alasan untuk
menutup diri, sehingga tes tersebut tidak dijalankan. Akibatnya, virus HIV/AIDS
tak terdeteksi sejak dini. Tes ini juga bukan bermakna setiap orang yang
memeriksakan diri adalah terinidikasi virus, tetapi tes sebagai bentuk
penyisiran terhadap penyakit menular. Belum adanya keterbukaan diri dalam
individu menjadikan jumlah individu gay yang terlibat tergolong sedikit.
Keengganan untuk terlibat VCT, disebabkan adanya beban ganda yang dimiliki
individu gay karena pandangan negatif dari masyarakat. Masyarakat meyakini
bahwa identitas seksual individu gay mengacu pada perilaku seksual menyimpang
yang mengakibatkan penularan virus HIV/AIDS. Stigma yang pertama adalah mereka
gay. Stigma tersebut yang pada akhirnya membuat individu gay merasa
diberlakukan tidak adil di negara demokrasi ini. Mereka meyakini bahwa tidak
mudah untuk hidup dalam orientasi yang berbeda di Indonesia. Permasalahan
kemudian muncul ketika individu gay kembali memperoleh stigma sebagai penyebab
utama penyebaran serta penularan virus HIV/AIDS bagi masyarakat.
Masyarakat akan memberikan beban ganda karena stigma ganda yang
dimunculkan bahwa “sudah gay juga positif HIV/AIDS”, sehingga besar kemungkinan
mereka akan terkucilkan dan terisolir dari kehidupan sosial bermasyarakat.
Individu gay yang mau melakukan tes serta konseling distigma oleh masyarakat
sebagai kaum marjinal (homoseksual) dan stigma ganda akan bertambah ketika
mereka juga terkena penyakit HIV/AIDS. Permasalahan tersebut yang menjadikan
ketakutan bagi mereka untuk melakukan VCT secara sukarela serta menemukan
orang-orang yang positif HIV/AIDS di tengah-tengah masyarakat. Sehingga
ketakutan merupakan hambatan terbesar untuk melakukan tes HIV/AIDS. Upaya mengakses
fasilitas kesehatan ini sebetulnya membuktikan upaya perlawanan simbolik
terhadap stigma yang melekat terkait kaum LSL atau LGBT sebagai saran
penyebaran virus HIV/AIDS.
Berbagai cara
tentu dilakukan mereka dalam upaya mensosialisasikan serta mengkampanyekan tes
kesehatan atau VCT bagi masyarakat khususnya pada kelompok LGBT tersebut.
Berbagai faktor penghambat indivdu gay enggan melakukan VCT beragam.
Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya kondisi
sosial dan budaya, kondisi keluarga, agama, pendidikan seksualitas, serta
biaya.
Kondisi sosial dan budaya di Indonesia yang belum mengakui bahkan tidak
menerima adanya kelompok LGBT, menjadikan faktor individu gay tidak mau terbuka
akan orientasi seksual serta perilaku seksualnya sehingga mereka enggan
melakukan VCT secara sukarela. Penerimaan lingkungan terhadap sikap sosial dan
budaya pada individu dengan beragam orientasi seksual, identitas seksual serta
ekspresi gender dengan mereka yang heteroseksual pada umumnya berbeda. Mereka
yang cenderung menolak keberadaan kelompok LGBT bisa dikatakan adalah mereka
yang belum memahami secara mendalam akan perbedaan orientasi seksual, identitas
seksual serta ekspresi gender.
Mayoritas
masyarakat yang memiliki populasi serta kekuasaan yang besar sesungguhnya
terkungkung dalam kontruksi sosial akibat minimnya pengetahuan. Kelompok LGBT
adalah manusia yang sama seperti manusia pada umumnya yang membutuhkan
kesetaraan hak, perlindungan serta penerimaan lingkungan. Namun hal tersebut hampir
atau bahkan mustahil di dapatkan oleh kelompok LGBT terlebih pada lingkungan
sosial dan budaya di Indonesia. Faktor tersebut yang membuat kelompok LGBT
menutup diri akan orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender.
Individu
heteroseksual lebih diterima masyarakat karena mengacu pada heteronormativitas,
sebaliknya individu dengan beragam orientasi seksual, identitas seksual serta
ekspresi gender yang berbeda lebih menonjol dikalangan masyarakat karena
dianggap tidak sesuai dengan konformitas yang mengacu pada prokreasi. Banyak
orang mengetahui adanya keberadaan kelompok LGBT namun tidak sedikit orang yang
mengacuhkan keberadaan mereka. Fakta yang paling menonjol adalah penerimaan
seorang waria dilingkungan keluarganya. Banyak dari waria mengaku tidak
diterima pihak keluarga atau bahkan diusir karena dianggap membawa aib bagi
keluarga.
Berdeda dengan
mereka yang cenderung memiliki orientasi seksual lesbian, gay dan biseksual. Masih diterima oleh lingkungan
keluarga apabila mereka mengunci rapat apa orientasi seksualnya. Namun ada
beberapa keluarga yang mampu menolerir perbedaan orientasi seksual meski
penerimaan tersebut masih dalam kategori abu-abu. Artinya adalah mereka
diberikan haknya untuk menjalani pilihan sebagai seorang LGBT, tetapi secara
kurang rela dan tetap mengharap jika nantinya mereka dapat kembali menjadi
seorang heteroseksual.
Secara
konseptual, banyak orang Indonesia yang menyatakan bahwa mereka menentang
homoseksualitas. Laporan Global Attitudes
Project oleh Pew Research yang
dikutip dari (Laporan LGBT Nasional Indonesia: Hidup Sehat Sebagai LGBT di
Asia. Tinjauan dan Analisa Partisipatif
Tentang lingkungan, Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender menyebutkan, sikap terhadap homoseksualitas
menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden survei
di dalam negeri dan hanya ada 3% yang bersikap menerima.
Namun, dilain
sisi seperti beberapa negara yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis
adalah orang-orang yang bersikap liberal, progresif serta memahami secara
mendalam prinsip-prinsip hak asasi manusia tentang keragaman orientasi seksual,
identitas seksual serta ekspresi gender pada segala aspek. Apabila pihak
keluarga tidak mau menerima orientasi seksual mereka, bagaimana jika pihak keluarga
mendapati kenyataan bahwa “sudah gay juga terkena HIV/AIDS”. Tentu hal tersebut
yang dapat menjadikan salah satu faktor seorang individu gay enggan coming out, sehingga menjadi penghambat
individu gay untuk melakukan VCT secara sukarela.
Agama dan Pendidikan Seksualitas
Keluarga
merupakan faktor utama yang berpengaruh besar terhadap kehidupan kelompok LGBT,
akan tetapi penerimaan keluarga terhadap orientasi seksual individu gay
dibatasi karena tekanan sosial serta budaya yang kuat terlebih karena acuan
menjadi heteronormativitas dengan tujuan prokreasi. Faktor lain yang
berpengaruh terhadap kelompok LGBT adalah agama. Penduduk Indonesia adalah
kumpulan orang beragama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu. Ajaran agama yang ditafsirkan secara konservatif oleh
individu-individu religiuslah yang mempengaruhi pandangan masyarakat untuk
menolak keberadaan kelompok LGBT. Semakin religius (formalistik) suatu daerah,
maka akan semakin besar tantangan yang dihadapi oleh kelompok LGBT, sebab
syariat agama akan dibawa untuk dijadikan tameng mendiskriminasi kelompok
minoritas tersebut.
Sebagian besar
kelompok LGBT yang dibesarkan pada lingkungan yang beragama, pastilah menerima
penolakan yang sangat kuat baik pada level keluarga, tempat tinggal maupun
lingkungan sekitar yang menginternalisasi homofobia sehingga mereka mengalami
kesulitan untuk dapat menerima orientasi seksual, identitas gender serta
ekspresi gender mereka sendiri. Mereka seperti di bawah kungkungan dosa karena
berbeda seperti orang pada umumnya (straight)
terlebih jika para tokoh agama selalu menyuarakan bahwa keberadaan LGBT
berlawanan dengan fitrahnya. Seperti yang dikutip pada bukunya Hendri Yulius Coming Out (2015), “Bisakah seorang gay tetap beriman meski melakukan hubungan sesama
jenisnya?”.
Pertanyaan
tersebut yang sebagian besar menjadi pergulatan batin individu gay untuk mau
terbuka akan orientasi seksualnya terlebih bagi mereka yang dinyatakan positif
HIV/AIDS. Faktor agama juga diyakini sebagai penghambat individu gay enggan
melakukan VCT secara sukarela karena mereka seperti diikuti rasa berdosa dan
ketakutan jika nantinya masuk neraka hanya karena orientasi seksual. Perlu
diingat bahwa setiap manusia adalah tempatnya salah dan dosa, sehingga bukan
berarti karena mereka berbeda dengan orang heteroseksual maka dapat menghakimi
kaum homoseksual.
Makna dari
pendidikan seksualitas tidak hanya membahas mengenai hubungan intim seseorang
saja namun juga persoalan mengenai keragaman gender, orientasi seksual,
identitas seksual, ekspresi gender, perilaku seksual, kekerasan seksual,
pornografi serta kesehatan reproduksi. Seksualitas merupakan suatu pemahaman
diri yang saling berkesinambungan antara isu seksual, politik, kesehatan,
sosial, ekonomi, hukum, maupun budaya sehingga jika berbicara mengenai
seksualitas, maka tidak dapat berdiri sendiri.
Michel Foucault
dalam bukunya La Volonte de Savoir
Histoire de la Sexualite (Ingin Tahu
Sejarah Seksualitas), menjelaskan sejak abad ke-17, seksualitas kerap
diperbincangkan pada berbagai kelas sosial meski secara sembunyi-sembunyi
karena saat zaman tersebut membicarakan seksualitas adalah hal yang dilarang.
Sejak abad ke-18, seks tidak henti-hentinya menimbulkan semacam dorongan yang
semakin besar untuk membentuk wacana oleh karenanya karena dorongan akan wacana
seksualitas semakin mengalir yang membuat Foucaultpun akhirnya menulis tentang
penyimpangan. Hingga abad ke-18, tiga kode eksplisit digunakan sebagai acuan di
samping kebiasaan adat istiadat dan kendala pendapat umum menguasai kegiatan
seksual seperti hukum agama, ajaran pastoral kristen dan hukum perdata. Kode
yang beragam tersebut tidak memisahkan secara jelas antara pelanggaran atas
aturan perkawinan maupun penyimpangan yang bersifat genital. Berbicara mengenai
seksualitas juga tidak terlepas dari sosok homoseksual dan lebih merupakan
kodrat khasnya daripada kebiasaan yang mengandung dosa. Homoseksualitas
diyakini muncul sebagai salah satu perwujudan seksualitas ketika dialihkan dari
praktik sodomi menjadi semacam androgini batin maupun hermaphrodisme jiwa
(2008: 56-66).
Pendidikan
seksualitas juga sebaiknya memberikan pengetahuan serta informasi seputar
kesehatan dan kesejahteraan kelompok LGBT di Indonesia terutama yang terkait
dengan isu HIV/AIDS dan penyakit menular seksual yang tidak hanya ditujukan
bagi mereka yang heteroseksual. Oleh karena itu, kurangnya pendidikan akan
seksualitas baik pada kelompok LGBT maupun masyarakat umum dapat menimbulkan
pertentangan keberadan kelompok minoritas tersebut. Individu gay juga semakin
diliputi rasa tidak percaya diri akan orientasi seksualnya yang berbeda,
sehingga dapat menjadikan faktor penghambat individu gay untuk tidak mau
melakukan VCT secara sukarela terlebih jika nantinya dinyatakan positif.
Dari penjabaran
di atas, individu gay yang mau melakukan VCT secara sukarela terdorong oleh rasa
tanggung jawab terhadap diri sendiri. Individu gay mendapat saran dan dorongan
dari teman, keluarga, dan pendamping. Selain
itu, diperlukan upaya terintegrasi antara lain Dinas Kesehatan, LSM, keluarga,
teman serta masyarakat, terkait dengan perubahan perilaku seks berisiko. Pada
gilirannya, upaya-upaya untuk melawan stigma dilakukan dengan cara-cara yang
ditempuh masyarakat pada umumnya. Hal ini membuktikan kelompok ini merupakan
individu yang sama dengan lainnya sebagai sesama manusia. Orientasi seksual
bukanlah pembeda kedudukan dalam lanskap kemanusiaan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta menjadi salah satu bahan pertimbangan masyarakat untuk
tidak bersikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas terlebih LGBT apapun alasannya. Karena pada hakikatnya, semua manusia adalah sama.
Hapus seluruh stigma, karena mereka bagian dari kita!
*Artikel ini diikutkan dalam Lomba Menulis Artikel ASEAN Literary Festival 2017 bertema "Keberagaman Gender dan Seksualitas".