kamus

Senin, 24 Desember 2018

Ketidakmungkinan jangan kau perjuangkan

Dibawah derasnya air hujan sore ini
Sebenarnya, air mataku jatuh lebih deras
Mengalir, menggenang, tanpa muara

Pikiranku bergejolak, rasanya inginku berteriak
Hingga hilang lara di hati, hingga hilang pedih peri
Perih ini bukan sekadar perih di hati
Perih yang menancap hingga ke relung terdalam
Sakit teramat sakit
Terluka sangat terluka

Hatiku selalu hancur
Ketika kutatap wajahmu
Wajah seseorang yang amat kucintai, amat kusayangi
Bukan karna rasaku tak berbalas, bukan
Bukan karna rasaku tak tersampaikan, bukan
Bukan itu

Ini semua karnaku
Karna sebuah ketidakmungkinan yang kusemogakan
Seolah olah aku yang selalu memaksakan demi kebahagianku
Seolah olah aku seperti memaksakan kemauanku
Seoalah olah dan seolah olah, aku yang selalu mencari pembenaran

Aku selalu berusaha untuk tetap sabar, tetap menerima dan memaafkan
Dikala aku sedih, dikala aku tersakiti oleh sikap dan perbuatanmu
Dikala kau tak tahu, bagaimana rasanya jadi aku
Yang selalu ingin membahagiakanmu, meskipun caraku salah
Yang selalu ingin melihat senyummu walau bagimu itu tak berarti

Aku hancur, aku sakit ketika kau mengacuhkanku
Ketika ketidakmungkinan itu selalu ingin kuwujudkan, tapi berkali kali kau mematahkan
Mematahkan harapanku

Mungkin tanpa kau sadari,
Sikapku, perhatianku, ketulusanku tak berarti di matamu
Ya...aku tahu
Meski selalu kukatakan, setiap hari ku jatuh cinta kepadamu
Bagimu, itu adalah sebuah omong kosong
Tapi memang benar adanya
Kau adalah seseorang yang membuatku selalu merasa jatuh dan sejatuh-jatuhnya hatiku setiap hari
Namun,
Aku tidak tahu bagaimana lagi aku harus membuktikan rasa cintaku ini
Kau selalu bersikap semaumu, menjadi orang yang seenak hatimu tanpa memikirkan perasanku

Mungkin benar,
Kita adalah ketidakmungkinan yang seharusnya tak perlu kusemogakan
Ketidakmungkinan yang tak perlu kuperjuangkan
Dan ketidakmungkinan yang tak perlu kupertahankan

Suatu saat, jika kau ingin pergi...aku akan melepasmu
Suatu saat jika kau ingin bahagia...aku tak akan melarangnya
Dan suatu saat jika kau ingin menyudahi ketidakmungkinan ini, aku akan merelakannya
Karna aku tahu, mempertahankan ketidakmungkinan lebih menyakitkan

Mungkin jalan kita memang berbeda
Kau dengan kehidupanmu dan semua harapmu
Dan aku disini dengan kehidupanku yang akan berusaha melepaskan meski sulit untuk melupakan

Tanpa kau tahu, jika mungkin kau memutuskan untuk pergi
Aku akan tetap disini, meski bukan dengan aku yang dulu

Rabu, 30 Mei 2018

Jangan rindu, itu sebuah kesalahan bung!

Kata Dilan, rindu itu berat
Kata orang, rindu itu indah
Tapi bagiku, rindu adalah sebuah kesalahan

Jangan tanya mengapa dan kenapa
Karena rindu itu menyiksa, terlebih jika orang yang kita cintai tak merindukan kita juga
Kesalahan bukan?

Rindu sebenarnya tak pernah ada
Karena rindu hanyalah sebuah jarak yang tersampaikan lewat imajinasi
Imajinasi saat mengingat, masa dimana kita bersama orang yang kita sayangi terlebih kita cintai

Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan kerinduan
Berkomunikasi lewat telephone, bercerita dengan kerabat terdekat, bahkan hanya dapat menangis secaranya nyata atau dalam hati saja

Dan saat ini, aku sedang membuat kesalahan
Karena aku telah merindukan seseorang
Orang yang paling aku sayang dan cintai
Mungkin terlalu berlebihan jika kukatakan aku selalu merindukannya sepanjang waktu
Tapi benar, itu yang kurasakan sekarang
aku mencoba menyadarkan diri telah berbuat kesalahan karena aku memaksakan rinduku padanya hanya untuk diriku sendiri
Sedangkan orang yang kurindukan, tidak benar tahu betapa besarnya rinduku padanya

Aku melupakan apa yang pernah ku ucapkan
Bahwa jika kita menyayangi atau mencintai seseorang, berilah setengah hatimu
Karena jika suatu hari nanti kau terluka, kau masih punya setengahnya lagi
Dan kini kutahu, saat aku merindu yang begitu besar, aku terluka saat dia tidak merasakan betapa besar rindumu padanya
Terlebih karena hati yang pernah kusimpan setengahnya telah kuberikan semua untuknya

Jadi, masihkah pantas kita merindukan seseorang?
Entahlah.

Rabu, 11 April 2018

Mlayu Sak Kesele, Kekancan Sak Lawase "Komunitas Semarang Runners"


Semarang Runners merupakan komunitas yang memiliki kegiatan olahraga lari di malam hari. Meski begitu, komunitas ini memiliki banyak anggota dari berbagai kalangan. Seperti apa? 
 
Memiliki tubuh yang sehat adalah dambaan setiap orang. Untuk mendapatkan tubuh sehat, memang perlu berbagai usaha, diantaranya olahraga rutin dan istirahat cukup. Meski begitu, bagi sebagian orang, olahraga dianggap kegiatan yang sulit untuk dilakukan. Karena banyak yang menganggap, olah raga hanya dilakukan bagi mereka yang tidak memiliki kegiatan, dilakukan pada waktu senggang serta harus memakai berbagai peralatan agar terlihat lebih maksimal.

Dari pemikiran tersebut, sekumpulan anak muda menggagas Komunitas Semarang Runners yang menjadi wadah untuk berolahraga tanpa mengenal waktu dan menggunakan berbagai peralatan. Dengan memanfaatkan fasilitas publik yang ada (trotoar) maupun tepi jalan, Semarang Runners mengajak masyarakat untuk hidup sehat. Selain juga bertujuan untuk memasyaratkan olahraga lari di Semarang.


Komunitas yang berdiri sejak empat tahun yang lalu, awalnya bernama Indorunners dan saat ini berganti menjadi Semarang Runners. Hal tersebut untuk memudahkan orang mengingat komunitas lari tersebut lantaran di setiap kota memiliki komunitas yang serupa. Selain lari, agenda lain yang diadakan oleh komunitas tersebut diantaranya, bakti sosial serta choaching clinic untuk menarik minat masyarakat yang ingin bergabung.

Terbentuknya komunitas Semarang Runners sendiri, lantaran para anggota memiliki hobi yang sama dalam hal olahraga lari. Selain menjadikan badan sehat dan memperluas jaringan, lari dapat menjadi gaya hidup yang dibilanh kekinian khususnya masyarakat Semarang. komunitas tersebut memiliki agenda lari yang selalu terjadwal secara rutin setiap minggunya.

Semarang Runners memiliki agenda rutin untuk lari minimal tiga kali dalam seminggu. Setiap agenda memiliki rute, sebutan serta camp yang berbeda, seperti Playon Selasa Bengi (PSB) yang dimulai di halaman Grapari Telkomsel Pahlawan dengan rute 10k, lalu ada Playon Kemis Bengi (PKB) yang dimulai dari Balaikota Semarang dengan rute segitiga emas 5k dan Playon Minggu Isuk (PMI) dengan rute kawasan CFD. Untuk agenda lari malam, dimulai pukul 7. Khusus Hari Minggu, sifatnya tentatif. Kegiatan lari dapat dilaksanakan sesuai kesepakatan para anggota, dapat dilakukan pada pagi atau sore hari. 

Diceritakan oleh salah satu anggota Semarang Runners, pemilihan lari dengan agenda malam hari lantaran kebanyakan anggota merupakan pekerja hanya memiliki waktu luang di malam hari. Meski sibuk bekerja dan beraktifitas di pagi hari, mereka dapat berlari untuk menjaga kesehatan tubuh. Ini yang menjadi keunikan dari komunitas Semarang Runners.

Saat ini, keanggotaan aktif setiap agenda kurang lebih 50 orang yang terdiri dari berbagai profesi seperti pelajar, mahasiswa, TNI, Polri, karyawan, dokter, dan dosen. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi anggota. Bagi pemula, biasanya didampingi oleh marshal sampe finish. Tidak perlu kuat, yang penting niat. Untuk menjadi anggota dari Semarang Runnerspun mudah, tinggal datang saat komunitas memiliki agenda, lalu mendaftar tanpa dipungut biaya dan peralatan olahraga seadanya.

Selain itu, agenda rutin yang dilakukan Semarang Runners dalam menarik minat anggota adalah bakti sosial yang bekerjasama dengan dompet dhuafa, program coaching klinik minimal sebulan sekali serta berkolaborasi dengan komunitas lain dalam balutan event.

Meski sudah lama berdiri, tentu berbagai hambatanpun ditemui oleh para anggota. Hambatan terbesar bagi Semarang Runners adalah cuaca, mengingat hampir di setiap kegiatan diadakan pada malam hari. Saat musim penghujan tiba, beberapa kegiatan lari terkadang ditiadakan karena kondisi yang tidak memungkinkan.

“Kalau hujan sebelum jamnya biasanya cancel, tapi kalau pas lari hujan ya kita tetep lari sampai finish soalnya udah terlanjur. Disitu kadang kita merasakan sensasi yang berbeda”, tutur Subhkan salah satu anggota dari Semarang Runners.

Pihaknya berharap, dengan adanya kegiatan ini, banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga kesehatan dengan cara berolah raga yang cuma-cuma tanpa mengenal batasan waktu, umur, maupun profesi. Selain itu, semoga banyak masyarakat yang lebih mengenal Komunitas Semarang Runner agar jumlah anggota yang bergabung semakin bertambah dan semakin solid.

Beberapa anggota menuturkan alasan bergabung dengan komunitas lari malam Semarang Runners lantaran mereka telah jatuh hati dengan olahraga lari. Selain tidak membutuhkan peralatan dan budget besar, olahraga tersebut dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Selain itu juga untuk memanfaatkan ruang publik, menambah pertemanan, dan yang terpenting menjaga badan tetap sehat dan bugar.

Jumat, 09 Maret 2018

Pengayuh Itu Bernama "Mbah Getek"

"Semarang Kaline Banjir"
Merupakan tagline yang sering kita dengar dan tidak asing lagi di telinga kita. Tagline yang memiliki arti "Semarang Sungainya Banjir /Meluap" memang terkesan negatif, akan tetapi tagline tersebut memiliki arti tersendiri bagi warganya. Tidak seperti yang dibayangkan pada tagline tersebut, kini Kota Semarang memiliki sungai yang selalu bersih dan nyaman untuk kita kunjungi seraya menikmati Kota Atlas yang penuh cinta tersebut.

Semarang sendiri memiliki beberapa sungai, salah satu yang terbesar adalah sungai "Banjir Kanal". Oleh sebab itu banjir kanal merupakan sungai yang paling tersohor dibanding yang lain. Banjir kanal sendiri memiliki dua aliran yaitu "Banjir Kanal Barat dan Timur". Dan kali mata saya tertuju pada pemandangan yang tak biasa ketika saya melewati sungai "Banjir Kanal Barat".

Memasuki pintu gerbang daerah Semarang Indah, kita disuguhkan pemandangan sungai di sepanjang kawasan Banjir Kanal Barat. Pepohonan yang tumbuh di sekelilingnya menambah asri suasana. Angin sepoi-sepoi seraya menyapa kita pada suguhan keindahan di salah satu sudut Kota Semarang.

Tak disangka, dari kejuahuan terlihat satu pemandangan unik dan tak biasa. Orang-orang berkerumun di pinggir sungai, mengayun-ayunkan tangannya seraya memanggil perahu kayu untuk segera berlabuh menghampiri. Sebut saja perahu getek. Benar saja, sebuah perahu kayu usang dengan warna cat yang mulai memudar itu menghampiri gerombolan orang di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Lucunya, perahu tersebut berjalan sambil ditarik seutas tali tambang dari kiri ke kanan.

Perlahan tapi pasti, perahu mulai melaju mengikuti irama tangan sang nahkoda. Tampak pria setengah baya berkulit coklat gelap menarik-narik tali hingga ke tempat tujuan.
Karena penasaran, saya hidupkan mesin kendaran bermotor dan mencoba mendekati perahu yang dimaksud. Dengan ramah, sang nahkoda mempersilahkan naik dan kamipun berbincang santai di atas perahu kayu tersebut.

Ditemani dengan gemuruh angin kencang, membuat perbincangan kami semakin hangat. Mbah Getek, begitu orang-orang menyebutnya.
Pria yang disapa Sulistyono ini memulai pekerjaan sebagai pengemudi perahu seberang hampir 12 tahun, semenjak tahun 1995 silam. Pria kelahiran Semarang, 6 November 1983 menuturkan, sebelum menggunakan perahu seberang yang ditarik tali, ia terlebih dahulu menggunakan perahu getek. Itu mengapa orang-orang menyebutnya "Mbah Getek" hingga kini.

“Dulu masih perahu yang terbuat dari pring biasanya disebut getek, sekarang terbuat dari kayu terus ditarik tambang”, tuturnya.

Perahu seberang tersebut adalah buah pemikiran lantaran banyak anak sekolah serta para pekerja yang harus berputar dulu untuk sampai ke jalan yang sebelah (kokrosono). Karena tidak tersedianya akses jembatan yang dekat, akhirnya ia berinisiatif menciptakan perahu sebagai transportasi (menyebrang) masyarakat sekitar. Perahu tersebut sengaja dipesannya langsung dari pengrajin di daerah Demak.

Perahu seberang dapat ditemui setiap hari mulai pukul setengah 6 pagi hingga pukul setengah 6 sore dengan tarif sebesar Rp. 1000 untuk anak sekolah dan Rp. 2000 untuk umum. Jika ada barang yang diangkut seperti sepeda, tidak dikenakan biaya tambahan. Perahu dapat mengangkut sedikitnya 15 orang sekali jalan. Masih menurut penuturan sang nahkoda,  Ramaianya penumpang perahu tersebut pada jam-jam tertentu, sekitar jam 6 sampai 8 pagi dan jam 3 sampai 5 sore.

Banyak suka duka yang ia alami selama menjadi pengemudi perahu seberang. Tanpa kenal lelah, Mbah Getek tetap berjuang untuk menghidupi diri dan anak semata wayangnya. Baginya, bekerja adalah sebuah keharusan, meski pasang surut, ia tetap ikhlas dalam menjalaninya.

“Sukanya karena bisa mendapatkan uang. Kerjanya juga santai sambil menikmati pemandangan. Dukanya kalau musim hujan airnya meluap, kalau udah gitu kadang gak narik. Kalau air surut, lumpurnya mengendap di tengah, air tidak bisa mengalir lancar otomatis kapal juga gak bisa jalan", tutur Mbah Getek kepada saya.
Saat sang nahkoda mencoba menceritakan kisahnya selama menjadi penarik perahu seberang, ada semburat kesedihan yang terlihat jelas dari wajah sayunya. Meski tampak tegar saat bercerita, kesedihannya tak dapat tertutupi. Saya memahami getirnya kehidupan yang dialami Mbah Getek, meski tak dapat merasakan kesedihanya.

Sebenarnya, ada perasaan takut ketika saya mencoba menaiki kapal tersebut, karena tidak ada alat pengaman khusus yang digunakan untuk menjaga keselamatan penumpang. Tetapi Mbah Getek dapat menjamin keselamatan penumpangnya selama perjalanan.

“Tidak perlu ada yang ditakutkan karena saya dapat membaca situasi air di sungai ini”, tutur Mbah Getek mencoba meyakinkan.

Mbah Getek juga menjelaskan, jika hujan mulai turun, ia akan menarik perahunya ke pinggir sungai dan menaikkan tali yang menghubungkan antara dua jalan. Hal tersebut sebagai antisipasi jika air meluap, kapalnya tidak hanyut terbawa air.
Ia juga menuturkan bahwa selama ini tidak ada perhatian dari pemerintah. Dengan adanya proyek pelebaran sungai Banjir Kanal Barat serta pembuatan jembatan bagi pejalan kaki di dekat rel kereta api, penghasilannya kini berkurang. Yang semula mencapai Rp. 250.000/ hari kini hanya Rp. 130.000/ hari. Mbah Getek berharap semoga pemerintah memberikan tempat baginya untuk lebih berkreasi, seperti menjadikan Banjir Kanal Barat sebagai objek wisata air.

“Lebih di tata lagi, sampahnya dibersihkan. Selain itu, tepi sungai dipercantik, terus bisa untuk jualan. Tempatnya makin ramai, kan lumayan bisa tambah-tambah penghasilan masyarakat setempat”.

Tak terasa, hari mulai gelap. Sayapun bergegas untuk berpamitan. Dengan mengulas senyum dan melambaikan tangan, saya segera pergi meninggalkan Mbah Getek. Mungkin, itu sebuah pertemuan yang luar biasa. Dimana saya bisa belajar untuk lebih membuka mata, menghargai apa yang saya miliki saat ini dan tak lupa untuk selalu mengucap syukur.

Meski pertemuan saya dengan Mbah Getek tanpa disengaja, tapi saya yakini bahwa ini bukan sebuah kebetulan semata. Ini merupakan cara Tuhan memberikan pemahaman dan nasehat kepada saya melalui Mbah Getek.

Dan sebuah pelajaran yang dapat saya ambil adalah, bagaimanapun kehidupan kita saat ini, tetaplah bersyukur dan jangan berhenti untuk selalu bersyukur. Karena dari rasa syukur tersebut, kita akan mengetahui apa arti ikhlas yang sesungguhnya.

Selasa, 13 Februari 2018

Tangan Terampil, Wadah Berkreasi Masa Kini

Semarang merupakan kota komoditas terbesar karena merupakan Ibukota provinsi Jawa Tengah
Melihat mobilitas yang tinggi, membuat beberapa  UMKM mencoba memanfaatkan peluang tersebut

Salah satu UMKM yang berada di Semarang adalah Tangan Terampil yang merupakan kelompok usaha bersama yang bergerak di bidang pemberdayaan usaha kecil menengah khusunya bagi para pelaku bisnis.

Franssisca Nugraheni yang merupakan Project Officer Komunitas Tangan Terampil menuturkan alasan bergabung dengan komunitas tersebut lantaran tertarik dengan dunia bisnis.

Menurut penuturannya, Tangan Terampil berdiri lantar sang founder Bernadeta Natalia Pujiastuti merasa bahwa Usaha Kecil Menengah (UKM) di Kota Semarang tidak berkembang. Artinya para pelaku bisnis hanya dirumah, menunggu orderan datang. Oleh sebab itu, Tangan Terampil menjembatani mereka dalam upaya mengembangkan hasil produksi tidak hanya berjualan di rumah atau di gerainya saja, tetapi juga muncul di sawalayan, toko oleh-oleh serta melalui media online.

Cara kerja dari Tangan Terampil yaitu, merekrut orang yang mau menjadi member dengan memberikan kontribusi sebesar  Rp. 100.000/orang selama 1 tahun. Tujuan dari kontribusi tersebut sebagai pengikat agar orang tertarik.  Banyak feedback yang di dapatkan, seperti pelatihan, pendampingan, serta mengikutkan bazar-bazar produk member di setiap kegiatan.
Berbagai program ditawarkan oleh Tangan Terampil, diantaranya student preneurship yang merupakan kegiatan semacam ekstrakulikuler dan dilaksanakan pada sekolaha-sekolahan yang ditunjuk. Salah satunya di SMK Ignasius Semarang. Pemilihan dari sekolah tersebut lantaran memiliki jurusan akutansi dan pemasaran, sehingga suatu kesempatan untuk mengajarkan serta mengenalkan dunia bisnis sejak muda, terutama bagi mereka yang pintar membuat produk tetapi tidak pandai memasarkannya.

Program selanjutnya adalah pemberdayaan masyarakat yang mengarah pada wanita. Sasaran dari program tersebut, mereka yang berada di  Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A daerah bulu serta ibu-ibu penggendong barang serta pengupas bawang di Pasar Johar.
“Programnya kayak memberikan pelatihan membuat produk menggunakan limbah kain perca. Setelah memberikan pelatihan, kita tidak meninggalkan begitu saja, kita akan memberikan order kepada mereka untuk menjual. Ibaratnya adalah karyawan lepas dari Tangan Terampil.

Program yang terakhir dari Tangan Terampil yaitu adanya kelompok diskusi (gathering) yang  dilakukan setiap satu bulan sekali di hari Sabtu Legi. Diikuti oleh masyarakat umum dan member. Kegiatan tersebut diisi dengan materi dan evaluasi supaya pelaku bisnis lebih matang dalam berwirausaha.

“Goals dari Tangan Terampil adalah mengurangi jumlah pengangguran di Kota Semarang. Untuk membuktikan  bahwa mereka memiliki kreatifitas yang lebih, bisa menjadi pengusaha, menciptakan lapangan pekerjaan dan itu bisa dimulai sejak muda. Apabila sudah menjadi pebisnis, mereka dapat mengembangkan bisnisnya tidak hanya di Kota Semarang tetapi di seluruh Indonesia, tuturnya.

Sejauh ini, Tangan Terampil memiliki member sebanyak 40 orang yang tersebar di beberapa Kota seperti Semarang, Boyolali, Solo dan Jogjakarta. Untuk hasil binaan dari Tangan Terampilpun sudah menyebar di seluruh outlet-outlet di Indonesia. Tidak hanya di Semarang tetapi juga Jakarta, bali, Surabaya, Kalimantan dan masih banyak lagi.

“Harapan dari Komunitas Tangan Terampil adalah produknya dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat terutama di Kota Semarang. Selain itu, memberikan dampak positif bagi ibu-ibu rumah rumah tangga, mereka bisa lebih produktif dan bagi anak muda setelah lulus kuliah mereka bisa berwirausaha dan bisa di hasilkan dari kemampuan diri sendiri".

Mimpi Itu Perlu Diperjuangkan Bukan?

Kamu percaya mimpi?
Kamu punya harapan?
Dan kamu perlu memperjuangkan?

Aku percaya dan sangat percaya
Tapi itu dulu..dulu saat aku masih menjadi orang yang kuat dan percaya diri
Dulu sebelum aku mengerti dan memahami apa itu tertekan dan depresi

Aku gak tahu
Kata apa yang tepat untuk menggambarkan jawaban itu sekarang

Mungkin, aku adalah orang yang idealis dan ambisius
Banyak yang mengatakan jika itu positif
Positif saat kita masih mencari jati diri
Tapi bagiku, itu adalah beban

Orang melihat, hidupku baik-baik saja
Selalu ceria, senang, gembira dan aku terlihat menikmatinya

Tapi apakah kamu tahu?
Sejauh mata memandang, ada hati yang selalu gelisah
Gelisah karena apa?
Akupun tidak tahu, apa yang aku khawatirkan sekarang

Masa depan?
Impian?
Cita-cita?
Akupun juga tidak tahu

Mungkin itu bukan pertanyaan dan bukan pula jawaban
Karna akupun tidak tahu apa yang menjadi kegelisahanku

Tapi aku tahu saat ini aku bingung, dan mungkin aku khawatir dengan hidupku
Mungkin juga saat ini, aku berada pada sebuah kulminasi kehidupan
Antara khawatir atau aku harus mencoba keluar dari rasa khawatir itu
Mencoba bangkit dan mencari apa yang harus aku cari
Mencari apa yang harus aku perjuangkan
Dan ya akupun tidak tahu

Aku tidak tahu, kemana lagi Tuhan akan membawa jalan hidupku
Meski Tuhan percaya, aku mampu untuk menempuh jalan itu

Luar biasanya, Tuhan memberikan aku jawaban melalui nang
Sekali lagi, kamu mencoba membawaku untuk menempuh jalan itu
Mencoba membangkitkanku meraih apa yang aku impikan
Mencoba menyadarkanku apa yang seharusnya aku lakukan, menghilangakan semua kegelisahan, ketakutan dan kekhawatiran

Dan sekali lagi, kamu mencoba meyakinkanku untuk terus berusaha, dan berjuang meraih apa yang aku impikan
"Karna proses tidak akan menghianati hasil dan kamu harus nikmati itu"
Sepnggal kata dengan beragam makna dan cerita yang akan selalu membekas

Aku janji, aku akan berjuang bersamamu
Aku janji, aku akan mencoba meraih mimpi itu
Brother.....trimakasih untuk segalanya
Mungkin ini adalah ungkapan terimakasihku yang kesekian kalinya tanpa kamu tahu
Dari lubuk terdalam hatiku, kamu selalu ada.
Karna mimpi perlu diperjuangkan bukan?
Dan sekali lagi, TERIMAKASIH NANG!!!!

Minggu, 16 Juli 2017

Melawan Stigma Ganda Lewat VCT

Oleh: Sheila Giza* 

             Dewasa ini, banyak yang masih menganggap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) adalah mereka yang memiliki kelainan seksual dan perilaku. Meski pada 15 Desember 1973 Asosisasi Psikiater Amerika (APA) menghapus homoseksual dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional. Di tingkat internasional serta para ahli jiwa di Indonesia juga ikut mengeluarkan perilaku homoseksual dari gangguan kejiwaan yang tercantum pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993, namun kelompok LGBT masih menuai banyak permasalahan terlebih pada mereka yang homofobia (Arus Pelangi, 2008: 23).
            Tidak sedikit, kelompok minoritas tersebut mengalami stigma, diskriminasi bahkan kekerasan secara simbolik. Media massa memiliki andil mengkonstruksi hal itu. Media menyuguhkan berita mengenai isu LGBT dengan pembahasan permasalahan yang tidak sesuai dengan konteksnya. Menurut riset Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) periode 15 Juli 2015 sampai 20 Agustus 2015 melaporkan, media online menempati urutan tertinggi dalam menyuguhkan pemberitaan terkait isu LGBT yang sering mengupas isu ekonomi serta identitas seksual pada urutan tertinggi dan isu kekerasan seksual kelompok LGBT berada pada urutan terendah. Ini membuktikan bahwa kekerasan seksual yang mengarah pada pelanggaran HAM yang dialami kelompok LGBT terkesan ditutupi dan dibiarkan menguap tanpa adanya penyelesaian yang jelas. Di sisi lain, cara memandang kelompok LGBT tersebut memunculkan ekses berupa mengentalkan kekerasan dalam bentuk lain yang dikenal sebagai stigma ganda.
Data yang diperoleh dari penelitian Arus Pelangi tahun 2013, kelompok LGBT mengaku sering mengalami kekerasan pada tiga tahun terakhir. Kelompok lesbian sebanyak 84 orang (89,4%), kelompok gay sebanyak 68 orang (94,4%), kelompok waria sebanyak 104 orang (87,4%) dan kelompok biseksual sebanyak 43 orang (86%). Apabila data tersebut diakumulasi, sebanyak 89,3% kelompok LGBT di Indonesia mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender, serta ekspresi gender. Kekerasan yang dialami kelompok LGBT ada pada kategori kekerasan psikis dengan prosentase tertinggi sebanyak 79,1%, kekerasan budaya dengan prosentase 63,3%, kekerasan fisik dengan prosentase 46,3%, kekerasan seksual dengan prosentase 45,1%, serta di urutan terakhir adalah kekerasan ekonomi dengan prosentase sebesar 26,3%.
Selain data dari Arus Pelangi, Ardhanary Institute yang dikutip dari CNN Indonesia memberikan data kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT sebanyak 37 kasus kekerasan berbasis orientasi seksual, gender, identitas gender serta ekspresi gender pada tahun 2014 dan 34 kasus kekerasan seksual pada tahun 2015. Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL INA) juga memberikan data kekerasan terhadap gay dan transgender yang ditemukan sebanyak 26 kasus di tahun 2015 dan 1 kasus di tahun 2016.
Istilah stigma ganda menyerupai pemahaman beban ganda pada isu-isu feminisme yang melihat eksistensi pada dua domain yakni domestik dan publik. Stigma ganda di sini dimaknai sebagai beban ganda yang disematkan publik kepada kelompok LGBT di tengah upayanya untuk hidup normal laiknya manusia. Ganda bukan soal deret angka antara nol sampai sembilan, melainkan kualitas yang melampaui kuantitas. Stigma terjadi berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat yang semuanya menyudutkan LGBT.
Stigma paling awal muncul dari sebuah pertentangan antara yang usual dan unusual atau ‘kodrat’ dan ‘tak kodrat’. Comman sense yang mengambang laiknya buih di atas aliran air ini mudah diomban-ambingkan dengan arus utama sebuah opini yang cenderung menggerus makna manusia. Kodrat manusia dipersipkan pada umumnya sebagaimana dijumpai, dialami dan diyakini tanpa melihat kemungkinan-kemungkinan lain. Sebagai manusia, LGBT, dinilai menyalahi ‘kodrat’ karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama apapun, stigma sebagai manusia yang tidak bermoral dan yang lebih menyakitkan kala mereka dianggap sebagai penyebab utama penularan virus HIV/AIDS yang salah satunya pada kategori LSL (lelaki suka lelaki).
Stigma tersebut diyakini hasil dari kontruksi sosial yang berkembang di masyarakat karena berkaitan erat dengan lingkungan serta nilai-nilai yang dianut dalam budaya patriarki yaitu heteronormativitas atau pandangan yang mengharuskan laki-laki dan perempuan tunduk pada aturan heteroseksualitas. Inti dari heteronormativitas adalah fungsi prokreasi seksualitas atau berkembangbiak yang diperjelas dengan dikeluarkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga, bagi siapa saja warga negara yang tidak taat pada budaya heteronormativitas, dianggap sebagai perilaku menyimpang. Pengotakan tersebut yang memunculkan label/stigma negatif yang melekat pada diri mereka juga kian melekat di benak masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan, salah satu stigma negatif masyarakat yang sangat menyakitkan adalah menganggap bahwa kelompok LGBT pada kategori LSL merupakan penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia. Meski kategori LSL juga ikut menyumbang dalam penyebaran virus HIV/AIDS, tidak serta merta masyarakat berargumen bahwa LSL merupakan penyebab utama dari penularan virus mematikan tersebut. Pandangan itu seharusnya disertai dengan berbagai bukti, data, serta penelitian yang valid agar tidak menjadikan kelompok LGBT semakin termarjinalisasi.

Stigma HIV/ADIS
Kita tahu bahwa perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia cukup cepat yang tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun merambah di seluruh pelosok negeri. Tidak dapat dipungkiri, penyebaran virus tersebut dikarenakan semakin padatnya jumlah penduduk, mobilitas masyarakat yang cukup tinggi, kurangnya informasi akan kesehatan serta lingkungan yang mendorong untuk melakukan hubungan seksual berisiko tinggi (seks bebas). Penyebaran penyakakit HIV/AIDS seperti fenomena gunung es.
Temuan kasus jumlahnya kian meningkat, tetapi masih banyak jumlah ODHA yang belum diketahui. Berbagai cara dan pencegahanpun telah diupayakan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan serta lembaga-lembaga terkait, namun tetap saja kasus HIV/AIDS masih berada pada titik tertinggi untuk penyakit mematikan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya dari sosialisasi sebagai pencegahan, konseling sebagai pengetahuan kesehatan serta pendampingan sebagai pengobatan dan membangkitkan semangat hidup ODHA, layaknya masih harus dievaluasi kembali mengingat virus HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan dan selalu menjadi isu nasional yang harus segera di cari solusi terbaik. Solusi tidak hanya berasal dari pemerintah dan dinas-dinas terkait, namun juga peran serta masyarakat yang aktif dalam membantu menanggulangi virus HIV/AIDS.
Berdasarkan data terbaru yang dihimpun dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia hingga tahun 2015 menunjukkan, kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Temuan kasus HIV/AIDS pada tahun 2015 sebanyak 735.256 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 85.523 orang. Jumlah angka kumulatif temuan kasus AIDS di Indonesia terbanyak pada kategori laki-laki dengan prosentase sebesar 55%, perempuan sebesar 32% dan tidak melaporkan jenis kelamin sebesar 13% yang jumlahnya meningkat sebanyak 4% pada tahun sebelumnya. Kategori tidak melaporkan jenis kelamin dalam data itu diindikasikan sebagai mereka yang berstatus sebagai transgender terutama laporan terbanyak pada variabel jenis kelamin yang tidak terisi berasal dari Provinsi DKI Jakarta dan Papua Barat sesuai data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dari data itu, secara gamblang menyebutkan kategori homoseksual menyumbang temuan kasus AIDS sebesar 7,4%. Sedangkan faktor resiko heteroseksual menempati urutan tertinggi di banding dengan yang lain, sebesar 82,8%. Hal tersebut seharusnya dapat menjadi bukti nyata bahwa anggapan masyarakat terkait LSL sebagai penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS adalah tidak benar. Justru kaum heteroseksual sebagai penyumbang tersbesar, namun kelompok ini luput dari stigma masyarakat. Hal ini barangkali bisa diasumsikan tidak adanya sebuah asosiasi kelompok dari kaum heteroseksual yang dapat disalahkan (blaming) dibandingkan kaum LSL yang secara nyata mengukuhkan dirinya sebagai kelompok yang mulai terbuka (coming out).

Tantangan VCT
Stigma negatif terhadap LSL yang dilatarbelakangi oleh keterbukaan setiap individu LGBT mengenai orientasi seksual, dijadikan alasan sebagai penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS yang terlanjur menjamur di masyarakat. Melihat keprihatinan akan peningkatan penderita HIV/AIDS pada kategori LSL, maka individu gay di beberapa kota di Indonesia rutin melakukan tes HIV/AIDS serta konseling yang bertujuan untuk menekan peningkatan penderita HIV/AIDS dan menjaga kesehatan reproduksi meskipun jumlah individu gay yang secara sukareka mengikuti VCT (voluntary counseling and testing) sangat sedikit.
Tes ini dilaksanakan untuk mengatahui, ada atau tidaknya virus HIV/AIDS yang bersemayam dalam diri seseorang dengan cara mengambil sampel darah. LSL merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang beresiko tinggi terkena virus ini, sehingga tes merupakan langkah yang wajib dilakukan. Semakin cepat terdeteksi, semakin cepat pula pengobatan dan penanganannya, sehingga seseorang dapat diselamatkan dari virus HIV/AIDS.
Lokasi pemeriksaan bisa bertempat di puskesmas, rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan dinas terkait. Fasilitas kesehatan milik pemerintah telah memiliki standar operasional prosedur yang memperlakukan dengan ramah kelompok ini. Misalnya dengan membuat menambah jam pelayanan hingga malam hari dan menambah jam kerja, sehingga memungkinkan kelompok ini dapat dengan mudah mencari waktu yang tepat dan longgar untuk memeriksakan diri setelah selesai dengan rutinitas pekerjaan. Salah satu keberhasilan dari penanganan penyakit menular adalah deteksi dini.
Persoalannya, deteksi dini pada LSL sulit dilakukan, karena sebelum kaki mereka menginjak fasilitas kesehatan, rentetan stigma telah disandang, sehingga untuk membuka diri atau mengakui diri sebagai gay di hadapan sesama gay, misalnya, memerlukan sebuah keberanian. Terlebih mengakui bagian dari LSL di depan dokter atau perawat yang baru dikenalnya. Hal ini merupakan tantangan dalam program VCT. Namun, keberaniannya melaksanakan tes tersebut, memiliki makna luas. Tidak sekadar mengikuti program pemerintah, tetapi juga melawan berbagai stigma yang telah disematkan kepadanya.
Seorang aktivis gay di Kota Semarang, Jawa Tengah, menceritakan upaya mengajak LSL melalui strategi tutor sebaya atau teman sesama gay. Cara ini efektif diterapkan. Dalam waktu beberapa tahun, sudah ada ratusan gay yang terlibat VCT. Namun, diakuinya masih banyak yang enggan yang dipicu antara lain soal stigma yang berdampak pada ketertutupan diri sendiri.
Stigma yang telah melekat pada individu gay menjadikan alasan untuk menutup diri, sehingga tes tersebut tidak dijalankan. Akibatnya, virus HIV/AIDS tak terdeteksi sejak dini. Tes ini juga bukan bermakna setiap orang yang memeriksakan diri adalah terinidikasi virus, tetapi tes sebagai bentuk penyisiran terhadap penyakit menular. Belum adanya keterbukaan diri dalam individu menjadikan jumlah individu gay yang terlibat tergolong sedikit.
Keengganan untuk terlibat VCT, disebabkan adanya beban ganda yang dimiliki individu gay karena pandangan negatif dari masyarakat. Masyarakat meyakini bahwa identitas seksual individu gay mengacu pada perilaku seksual menyimpang yang mengakibatkan penularan virus HIV/AIDS. Stigma yang pertama adalah mereka gay. Stigma tersebut yang pada akhirnya membuat individu gay merasa diberlakukan tidak adil di negara demokrasi ini. Mereka meyakini bahwa tidak mudah untuk hidup dalam orientasi yang berbeda di Indonesia. Permasalahan kemudian muncul ketika individu gay kembali memperoleh stigma sebagai penyebab utama penyebaran serta penularan virus HIV/AIDS bagi masyarakat.
Masyarakat akan memberikan beban ganda karena stigma ganda yang dimunculkan bahwa “sudah gay juga positif HIV/AIDS”, sehingga besar kemungkinan mereka akan terkucilkan dan terisolir dari kehidupan sosial bermasyarakat. Individu gay yang mau melakukan tes serta konseling distigma oleh masyarakat sebagai kaum marjinal (homoseksual) dan stigma ganda akan bertambah ketika mereka juga terkena penyakit HIV/AIDS. Permasalahan tersebut yang menjadikan ketakutan bagi mereka untuk melakukan VCT secara sukarela serta menemukan orang-orang yang positif HIV/AIDS di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketakutan merupakan hambatan terbesar untuk melakukan tes HIV/AIDS. Upaya mengakses fasilitas kesehatan ini sebetulnya membuktikan upaya perlawanan simbolik terhadap stigma yang melekat terkait kaum LSL atau LGBT sebagai saran penyebaran virus HIV/AIDS.
Berbagai cara tentu dilakukan mereka dalam upaya mensosialisasikan serta mengkampanyekan tes kesehatan atau VCT bagi masyarakat khususnya pada kelompok LGBT tersebut. Berbagai faktor penghambat indivdu gay enggan melakukan VCT beragam. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya kondisi sosial dan budaya, kondisi keluarga, agama, pendidikan seksualitas, serta biaya.
Kondisi sosial dan budaya di Indonesia yang belum mengakui bahkan tidak menerima adanya kelompok LGBT, menjadikan faktor individu gay tidak mau terbuka akan orientasi seksual serta perilaku seksualnya sehingga mereka enggan melakukan VCT secara sukarela. Penerimaan lingkungan terhadap sikap sosial dan budaya pada individu dengan beragam orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender dengan mereka yang heteroseksual pada umumnya berbeda. Mereka yang cenderung menolak keberadaan kelompok LGBT bisa dikatakan adalah mereka yang belum memahami secara mendalam akan perbedaan orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender.
Mayoritas masyarakat yang memiliki populasi serta kekuasaan yang besar sesungguhnya terkungkung dalam kontruksi sosial akibat minimnya pengetahuan. Kelompok LGBT adalah manusia yang sama seperti manusia pada umumnya yang membutuhkan kesetaraan hak, perlindungan serta penerimaan lingkungan. Namun hal tersebut hampir atau bahkan mustahil di dapatkan oleh kelompok LGBT terlebih pada lingkungan sosial dan budaya di Indonesia. Faktor tersebut yang membuat kelompok LGBT menutup diri akan orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender.
Individu heteroseksual lebih diterima masyarakat karena mengacu pada heteronormativitas, sebaliknya individu dengan beragam orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender yang berbeda lebih menonjol dikalangan masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan konformitas yang mengacu pada prokreasi. Banyak orang mengetahui adanya keberadaan kelompok LGBT namun tidak sedikit orang yang mengacuhkan keberadaan mereka. Fakta yang paling menonjol adalah penerimaan seorang waria dilingkungan keluarganya. Banyak dari waria mengaku tidak diterima pihak keluarga atau bahkan diusir karena dianggap membawa aib bagi keluarga.
Berdeda dengan mereka yang cenderung memiliki orientasi seksual lesbian, gay dan biseksual. Masih diterima oleh lingkungan keluarga apabila mereka mengunci rapat apa orientasi seksualnya. Namun ada beberapa keluarga yang mampu menolerir perbedaan orientasi seksual meski penerimaan tersebut masih dalam kategori abu-abu. Artinya adalah mereka diberikan haknya untuk menjalani pilihan sebagai seorang LGBT, tetapi secara kurang rela dan tetap mengharap jika nantinya mereka dapat kembali menjadi seorang heteroseksual.
Secara konseptual, banyak orang Indonesia yang menyatakan bahwa mereka menentang homoseksualitas. Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research yang dikutip dari (Laporan LGBT Nasional Indonesia: Hidup Sehat Sebagai LGBT di Asia. Tinjauan dan Analisa Partisipatif Tentang lingkungan, Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender menyebutkan, sikap terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden survei di dalam negeri dan hanya ada 3% yang bersikap menerima.
Namun, dilain sisi seperti beberapa negara yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis adalah orang-orang yang bersikap liberal, progresif serta memahami secara mendalam prinsip-prinsip hak asasi manusia tentang keragaman orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender pada segala aspek. Apabila pihak keluarga tidak mau menerima orientasi seksual mereka, bagaimana jika pihak keluarga mendapati kenyataan bahwa “sudah gay juga terkena HIV/AIDS”. Tentu hal tersebut yang dapat menjadikan salah satu faktor seorang individu gay enggan coming out, sehingga menjadi penghambat individu gay untuk melakukan VCT secara sukarela.

Agama dan Pendidikan Seksualitas
Keluarga merupakan faktor utama yang berpengaruh besar terhadap kehidupan kelompok LGBT, akan tetapi penerimaan keluarga terhadap orientasi seksual individu gay dibatasi karena tekanan sosial serta budaya yang kuat terlebih karena acuan menjadi heteronormativitas dengan tujuan prokreasi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kelompok LGBT adalah agama. Penduduk Indonesia adalah kumpulan orang beragama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Ajaran agama yang ditafsirkan secara konservatif oleh individu-individu religiuslah yang mempengaruhi pandangan masyarakat untuk menolak keberadaan kelompok LGBT. Semakin religius (formalistik) suatu daerah, maka akan semakin besar tantangan yang dihadapi oleh kelompok LGBT, sebab syariat agama akan dibawa untuk dijadikan tameng mendiskriminasi kelompok minoritas tersebut.
Sebagian besar kelompok LGBT yang dibesarkan pada lingkungan yang beragama, pastilah menerima penolakan yang sangat kuat baik pada level keluarga, tempat tinggal maupun lingkungan sekitar yang menginternalisasi homofobia sehingga mereka mengalami kesulitan untuk dapat menerima orientasi seksual, identitas gender serta ekspresi gender mereka sendiri. Mereka seperti di bawah kungkungan dosa karena berbeda seperti orang pada umumnya (straight) terlebih jika para tokoh agama selalu menyuarakan bahwa keberadaan LGBT berlawanan dengan fitrahnya. Seperti yang dikutip pada bukunya Hendri Yulius Coming Out (2015), “Bisakah seorang gay tetap beriman meski melakukan hubungan sesama jenisnya?”.
Pertanyaan tersebut yang sebagian besar menjadi pergulatan batin individu gay untuk mau terbuka akan orientasi seksualnya terlebih bagi mereka yang dinyatakan positif HIV/AIDS. Faktor agama juga diyakini sebagai penghambat individu gay enggan melakukan VCT secara sukarela karena mereka seperti diikuti rasa berdosa dan ketakutan jika nantinya masuk neraka hanya karena orientasi seksual. Perlu diingat bahwa setiap manusia adalah tempatnya salah dan dosa, sehingga bukan berarti karena mereka berbeda dengan orang heteroseksual maka dapat menghakimi kaum homoseksual.
Makna dari pendidikan seksualitas tidak hanya membahas mengenai hubungan intim seseorang saja namun juga persoalan mengenai keragaman gender, orientasi seksual, identitas seksual, ekspresi gender, perilaku seksual, kekerasan seksual, pornografi serta kesehatan reproduksi. Seksualitas merupakan suatu pemahaman diri yang saling berkesinambungan antara isu seksual, politik, kesehatan, sosial, ekonomi, hukum, maupun budaya sehingga jika berbicara mengenai seksualitas, maka tidak dapat berdiri sendiri.
Michel Foucault dalam bukunya La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite (Ingin Tahu Sejarah Seksualitas), menjelaskan sejak abad ke-17, seksualitas kerap diperbincangkan pada berbagai kelas sosial meski secara sembunyi-sembunyi karena saat zaman tersebut membicarakan seksualitas adalah hal yang dilarang. Sejak abad ke-18, seks tidak henti-hentinya menimbulkan semacam dorongan yang semakin besar untuk membentuk wacana oleh karenanya karena dorongan akan wacana seksualitas semakin mengalir yang membuat Foucaultpun akhirnya menulis tentang penyimpangan. Hingga abad ke-18, tiga kode eksplisit digunakan sebagai acuan di samping kebiasaan adat istiadat dan kendala pendapat umum menguasai kegiatan seksual seperti hukum agama, ajaran pastoral kristen dan hukum perdata. Kode yang beragam tersebut tidak memisahkan secara jelas antara pelanggaran atas aturan perkawinan maupun penyimpangan yang bersifat genital. Berbicara mengenai seksualitas juga tidak terlepas dari sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada kebiasaan yang mengandung dosa. Homoseksualitas diyakini muncul sebagai salah satu perwujudan seksualitas ketika dialihkan dari praktik sodomi menjadi semacam androgini batin maupun hermaphrodisme jiwa (2008: 56-66).
Pendidikan seksualitas juga sebaiknya memberikan pengetahuan serta informasi seputar kesehatan dan kesejahteraan kelompok LGBT di Indonesia terutama yang terkait dengan isu HIV/AIDS dan penyakit menular seksual yang tidak hanya ditujukan bagi mereka yang heteroseksual. Oleh karena itu, kurangnya pendidikan akan seksualitas baik pada kelompok LGBT maupun masyarakat umum dapat menimbulkan pertentangan keberadan kelompok minoritas tersebut. Individu gay juga semakin diliputi rasa tidak percaya diri akan orientasi seksualnya yang berbeda, sehingga dapat menjadikan faktor penghambat individu gay untuk tidak mau melakukan VCT secara sukarela terlebih jika nantinya dinyatakan positif.
Dari penjabaran di atas, individu gay yang mau melakukan VCT secara sukarela terdorong oleh rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri. Individu gay mendapat saran dan dorongan dari teman, keluarga, dan pendamping.  Selain itu, diperlukan upaya terintegrasi antara lain Dinas Kesehatan, LSM, keluarga, teman serta masyarakat, terkait dengan perubahan perilaku seks berisiko. Pada gilirannya, upaya-upaya untuk melawan stigma dilakukan dengan cara-cara yang ditempuh masyarakat pada umumnya. Hal ini membuktikan kelompok ini merupakan individu yang sama dengan lainnya sebagai sesama manusia. Orientasi seksual bukanlah pembeda kedudukan dalam lanskap kemanusiaan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta menjadi salah satu bahan pertimbangan masyarakat untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas terlebih LGBT apapun alasannya. Karena pada hakikatnya, semua manusia adalah sama. Hapus seluruh stigma, karena mereka bagian dari kita!

*Artikel ini diikutkan dalam Lomba Menulis Artikel ASEAN Literary Festival 2017 bertema "Keberagaman Gender dan Seksualitas". 

Kamis, 30 Maret 2017

Titip rindu untukmu

Entah, dari mana harus kutulis
Setiap kata yang kurasa
Setiap kalimat yang tak dapat terucap
Dan setiap perasan yang hanya bisa kupendam

Kamu, yang selalu menyambutku ketika ku lelah
Lelah dengan segala masalah
Kamu, yang dengan sabar mendengar ceritaku
Mencoba membantu meringankan bebanku

Masih jelas kuingat, 31 Desember lalu
Untuk pertama kalinya aku menjemputmu
Di ujung jalan itu, kau mengenakan jaket biru
Ahhh....masih jelas di dalam memoriku

Kamu, selalu menemani hari-hariku
Mengantarkan kemanapun aku mau
Menemani ke semua tempat yang kutuju

Pagi, siang, sore dan malampun kita selalu bersama
Merajut cerita pun cia-cita
Seyum itu, tawa itu
ahhhh.....aku tak bisa melupakannya
Helooooow......yahhhh helowwww.....
Dalam tangis, aku selalu tersenyum
Sambil mengingat dan membayangkanmu

Kini, kamu pergi
Meski bukan untuk selamanya
Tapi aku merasa
Aku kehilangan

Mavkan aku jika sering meninggalkanmu sendiri
Kini aku tahu bagaiaman rasanya berteman sepi

Heiii....jangan sedih, tetep terseyum
Jika kamu ingin kembali, pulanglah
Rumah ini selalu terbuka untukmu
Nanti, kita berkumpul lagi
Berbagi cerita berbagi ceria

Ternyata hari ini tanggal 30 Maret
Heiiii sebenarnya aku tak ingin kamu pergi
Tapi, aku tak bisa melarangmu mengejar cita-cita

Jaga diri disana ya.....
Ingat, kami selalu mencintaimu
Ini tulus dariku
Kutitipkan rindu, untukmu