kamus

Minggu, 16 Juli 2017

Melawan Stigma Ganda Lewat VCT

Oleh: Sheila Giza* 

             Dewasa ini, banyak yang masih menganggap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) adalah mereka yang memiliki kelainan seksual dan perilaku. Meski pada 15 Desember 1973 Asosisasi Psikiater Amerika (APA) menghapus homoseksual dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional. Di tingkat internasional serta para ahli jiwa di Indonesia juga ikut mengeluarkan perilaku homoseksual dari gangguan kejiwaan yang tercantum pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993, namun kelompok LGBT masih menuai banyak permasalahan terlebih pada mereka yang homofobia (Arus Pelangi, 2008: 23).
            Tidak sedikit, kelompok minoritas tersebut mengalami stigma, diskriminasi bahkan kekerasan secara simbolik. Media massa memiliki andil mengkonstruksi hal itu. Media menyuguhkan berita mengenai isu LGBT dengan pembahasan permasalahan yang tidak sesuai dengan konteksnya. Menurut riset Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) periode 15 Juli 2015 sampai 20 Agustus 2015 melaporkan, media online menempati urutan tertinggi dalam menyuguhkan pemberitaan terkait isu LGBT yang sering mengupas isu ekonomi serta identitas seksual pada urutan tertinggi dan isu kekerasan seksual kelompok LGBT berada pada urutan terendah. Ini membuktikan bahwa kekerasan seksual yang mengarah pada pelanggaran HAM yang dialami kelompok LGBT terkesan ditutupi dan dibiarkan menguap tanpa adanya penyelesaian yang jelas. Di sisi lain, cara memandang kelompok LGBT tersebut memunculkan ekses berupa mengentalkan kekerasan dalam bentuk lain yang dikenal sebagai stigma ganda.
Data yang diperoleh dari penelitian Arus Pelangi tahun 2013, kelompok LGBT mengaku sering mengalami kekerasan pada tiga tahun terakhir. Kelompok lesbian sebanyak 84 orang (89,4%), kelompok gay sebanyak 68 orang (94,4%), kelompok waria sebanyak 104 orang (87,4%) dan kelompok biseksual sebanyak 43 orang (86%). Apabila data tersebut diakumulasi, sebanyak 89,3% kelompok LGBT di Indonesia mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender, serta ekspresi gender. Kekerasan yang dialami kelompok LGBT ada pada kategori kekerasan psikis dengan prosentase tertinggi sebanyak 79,1%, kekerasan budaya dengan prosentase 63,3%, kekerasan fisik dengan prosentase 46,3%, kekerasan seksual dengan prosentase 45,1%, serta di urutan terakhir adalah kekerasan ekonomi dengan prosentase sebesar 26,3%.
Selain data dari Arus Pelangi, Ardhanary Institute yang dikutip dari CNN Indonesia memberikan data kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT sebanyak 37 kasus kekerasan berbasis orientasi seksual, gender, identitas gender serta ekspresi gender pada tahun 2014 dan 34 kasus kekerasan seksual pada tahun 2015. Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL INA) juga memberikan data kekerasan terhadap gay dan transgender yang ditemukan sebanyak 26 kasus di tahun 2015 dan 1 kasus di tahun 2016.
Istilah stigma ganda menyerupai pemahaman beban ganda pada isu-isu feminisme yang melihat eksistensi pada dua domain yakni domestik dan publik. Stigma ganda di sini dimaknai sebagai beban ganda yang disematkan publik kepada kelompok LGBT di tengah upayanya untuk hidup normal laiknya manusia. Ganda bukan soal deret angka antara nol sampai sembilan, melainkan kualitas yang melampaui kuantitas. Stigma terjadi berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat yang semuanya menyudutkan LGBT.
Stigma paling awal muncul dari sebuah pertentangan antara yang usual dan unusual atau ‘kodrat’ dan ‘tak kodrat’. Comman sense yang mengambang laiknya buih di atas aliran air ini mudah diomban-ambingkan dengan arus utama sebuah opini yang cenderung menggerus makna manusia. Kodrat manusia dipersipkan pada umumnya sebagaimana dijumpai, dialami dan diyakini tanpa melihat kemungkinan-kemungkinan lain. Sebagai manusia, LGBT, dinilai menyalahi ‘kodrat’ karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama apapun, stigma sebagai manusia yang tidak bermoral dan yang lebih menyakitkan kala mereka dianggap sebagai penyebab utama penularan virus HIV/AIDS yang salah satunya pada kategori LSL (lelaki suka lelaki).
Stigma tersebut diyakini hasil dari kontruksi sosial yang berkembang di masyarakat karena berkaitan erat dengan lingkungan serta nilai-nilai yang dianut dalam budaya patriarki yaitu heteronormativitas atau pandangan yang mengharuskan laki-laki dan perempuan tunduk pada aturan heteroseksualitas. Inti dari heteronormativitas adalah fungsi prokreasi seksualitas atau berkembangbiak yang diperjelas dengan dikeluarkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga, bagi siapa saja warga negara yang tidak taat pada budaya heteronormativitas, dianggap sebagai perilaku menyimpang. Pengotakan tersebut yang memunculkan label/stigma negatif yang melekat pada diri mereka juga kian melekat di benak masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan, salah satu stigma negatif masyarakat yang sangat menyakitkan adalah menganggap bahwa kelompok LGBT pada kategori LSL merupakan penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia. Meski kategori LSL juga ikut menyumbang dalam penyebaran virus HIV/AIDS, tidak serta merta masyarakat berargumen bahwa LSL merupakan penyebab utama dari penularan virus mematikan tersebut. Pandangan itu seharusnya disertai dengan berbagai bukti, data, serta penelitian yang valid agar tidak menjadikan kelompok LGBT semakin termarjinalisasi.

Stigma HIV/ADIS
Kita tahu bahwa perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia cukup cepat yang tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun merambah di seluruh pelosok negeri. Tidak dapat dipungkiri, penyebaran virus tersebut dikarenakan semakin padatnya jumlah penduduk, mobilitas masyarakat yang cukup tinggi, kurangnya informasi akan kesehatan serta lingkungan yang mendorong untuk melakukan hubungan seksual berisiko tinggi (seks bebas). Penyebaran penyakakit HIV/AIDS seperti fenomena gunung es.
Temuan kasus jumlahnya kian meningkat, tetapi masih banyak jumlah ODHA yang belum diketahui. Berbagai cara dan pencegahanpun telah diupayakan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan serta lembaga-lembaga terkait, namun tetap saja kasus HIV/AIDS masih berada pada titik tertinggi untuk penyakit mematikan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya dari sosialisasi sebagai pencegahan, konseling sebagai pengetahuan kesehatan serta pendampingan sebagai pengobatan dan membangkitkan semangat hidup ODHA, layaknya masih harus dievaluasi kembali mengingat virus HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan dan selalu menjadi isu nasional yang harus segera di cari solusi terbaik. Solusi tidak hanya berasal dari pemerintah dan dinas-dinas terkait, namun juga peran serta masyarakat yang aktif dalam membantu menanggulangi virus HIV/AIDS.
Berdasarkan data terbaru yang dihimpun dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia hingga tahun 2015 menunjukkan, kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Temuan kasus HIV/AIDS pada tahun 2015 sebanyak 735.256 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 85.523 orang. Jumlah angka kumulatif temuan kasus AIDS di Indonesia terbanyak pada kategori laki-laki dengan prosentase sebesar 55%, perempuan sebesar 32% dan tidak melaporkan jenis kelamin sebesar 13% yang jumlahnya meningkat sebanyak 4% pada tahun sebelumnya. Kategori tidak melaporkan jenis kelamin dalam data itu diindikasikan sebagai mereka yang berstatus sebagai transgender terutama laporan terbanyak pada variabel jenis kelamin yang tidak terisi berasal dari Provinsi DKI Jakarta dan Papua Barat sesuai data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dari data itu, secara gamblang menyebutkan kategori homoseksual menyumbang temuan kasus AIDS sebesar 7,4%. Sedangkan faktor resiko heteroseksual menempati urutan tertinggi di banding dengan yang lain, sebesar 82,8%. Hal tersebut seharusnya dapat menjadi bukti nyata bahwa anggapan masyarakat terkait LSL sebagai penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS adalah tidak benar. Justru kaum heteroseksual sebagai penyumbang tersbesar, namun kelompok ini luput dari stigma masyarakat. Hal ini barangkali bisa diasumsikan tidak adanya sebuah asosiasi kelompok dari kaum heteroseksual yang dapat disalahkan (blaming) dibandingkan kaum LSL yang secara nyata mengukuhkan dirinya sebagai kelompok yang mulai terbuka (coming out).

Tantangan VCT
Stigma negatif terhadap LSL yang dilatarbelakangi oleh keterbukaan setiap individu LGBT mengenai orientasi seksual, dijadikan alasan sebagai penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS yang terlanjur menjamur di masyarakat. Melihat keprihatinan akan peningkatan penderita HIV/AIDS pada kategori LSL, maka individu gay di beberapa kota di Indonesia rutin melakukan tes HIV/AIDS serta konseling yang bertujuan untuk menekan peningkatan penderita HIV/AIDS dan menjaga kesehatan reproduksi meskipun jumlah individu gay yang secara sukareka mengikuti VCT (voluntary counseling and testing) sangat sedikit.
Tes ini dilaksanakan untuk mengatahui, ada atau tidaknya virus HIV/AIDS yang bersemayam dalam diri seseorang dengan cara mengambil sampel darah. LSL merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang beresiko tinggi terkena virus ini, sehingga tes merupakan langkah yang wajib dilakukan. Semakin cepat terdeteksi, semakin cepat pula pengobatan dan penanganannya, sehingga seseorang dapat diselamatkan dari virus HIV/AIDS.
Lokasi pemeriksaan bisa bertempat di puskesmas, rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan dinas terkait. Fasilitas kesehatan milik pemerintah telah memiliki standar operasional prosedur yang memperlakukan dengan ramah kelompok ini. Misalnya dengan membuat menambah jam pelayanan hingga malam hari dan menambah jam kerja, sehingga memungkinkan kelompok ini dapat dengan mudah mencari waktu yang tepat dan longgar untuk memeriksakan diri setelah selesai dengan rutinitas pekerjaan. Salah satu keberhasilan dari penanganan penyakit menular adalah deteksi dini.
Persoalannya, deteksi dini pada LSL sulit dilakukan, karena sebelum kaki mereka menginjak fasilitas kesehatan, rentetan stigma telah disandang, sehingga untuk membuka diri atau mengakui diri sebagai gay di hadapan sesama gay, misalnya, memerlukan sebuah keberanian. Terlebih mengakui bagian dari LSL di depan dokter atau perawat yang baru dikenalnya. Hal ini merupakan tantangan dalam program VCT. Namun, keberaniannya melaksanakan tes tersebut, memiliki makna luas. Tidak sekadar mengikuti program pemerintah, tetapi juga melawan berbagai stigma yang telah disematkan kepadanya.
Seorang aktivis gay di Kota Semarang, Jawa Tengah, menceritakan upaya mengajak LSL melalui strategi tutor sebaya atau teman sesama gay. Cara ini efektif diterapkan. Dalam waktu beberapa tahun, sudah ada ratusan gay yang terlibat VCT. Namun, diakuinya masih banyak yang enggan yang dipicu antara lain soal stigma yang berdampak pada ketertutupan diri sendiri.
Stigma yang telah melekat pada individu gay menjadikan alasan untuk menutup diri, sehingga tes tersebut tidak dijalankan. Akibatnya, virus HIV/AIDS tak terdeteksi sejak dini. Tes ini juga bukan bermakna setiap orang yang memeriksakan diri adalah terinidikasi virus, tetapi tes sebagai bentuk penyisiran terhadap penyakit menular. Belum adanya keterbukaan diri dalam individu menjadikan jumlah individu gay yang terlibat tergolong sedikit.
Keengganan untuk terlibat VCT, disebabkan adanya beban ganda yang dimiliki individu gay karena pandangan negatif dari masyarakat. Masyarakat meyakini bahwa identitas seksual individu gay mengacu pada perilaku seksual menyimpang yang mengakibatkan penularan virus HIV/AIDS. Stigma yang pertama adalah mereka gay. Stigma tersebut yang pada akhirnya membuat individu gay merasa diberlakukan tidak adil di negara demokrasi ini. Mereka meyakini bahwa tidak mudah untuk hidup dalam orientasi yang berbeda di Indonesia. Permasalahan kemudian muncul ketika individu gay kembali memperoleh stigma sebagai penyebab utama penyebaran serta penularan virus HIV/AIDS bagi masyarakat.
Masyarakat akan memberikan beban ganda karena stigma ganda yang dimunculkan bahwa “sudah gay juga positif HIV/AIDS”, sehingga besar kemungkinan mereka akan terkucilkan dan terisolir dari kehidupan sosial bermasyarakat. Individu gay yang mau melakukan tes serta konseling distigma oleh masyarakat sebagai kaum marjinal (homoseksual) dan stigma ganda akan bertambah ketika mereka juga terkena penyakit HIV/AIDS. Permasalahan tersebut yang menjadikan ketakutan bagi mereka untuk melakukan VCT secara sukarela serta menemukan orang-orang yang positif HIV/AIDS di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketakutan merupakan hambatan terbesar untuk melakukan tes HIV/AIDS. Upaya mengakses fasilitas kesehatan ini sebetulnya membuktikan upaya perlawanan simbolik terhadap stigma yang melekat terkait kaum LSL atau LGBT sebagai saran penyebaran virus HIV/AIDS.
Berbagai cara tentu dilakukan mereka dalam upaya mensosialisasikan serta mengkampanyekan tes kesehatan atau VCT bagi masyarakat khususnya pada kelompok LGBT tersebut. Berbagai faktor penghambat indivdu gay enggan melakukan VCT beragam. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya kondisi sosial dan budaya, kondisi keluarga, agama, pendidikan seksualitas, serta biaya.
Kondisi sosial dan budaya di Indonesia yang belum mengakui bahkan tidak menerima adanya kelompok LGBT, menjadikan faktor individu gay tidak mau terbuka akan orientasi seksual serta perilaku seksualnya sehingga mereka enggan melakukan VCT secara sukarela. Penerimaan lingkungan terhadap sikap sosial dan budaya pada individu dengan beragam orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender dengan mereka yang heteroseksual pada umumnya berbeda. Mereka yang cenderung menolak keberadaan kelompok LGBT bisa dikatakan adalah mereka yang belum memahami secara mendalam akan perbedaan orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender.
Mayoritas masyarakat yang memiliki populasi serta kekuasaan yang besar sesungguhnya terkungkung dalam kontruksi sosial akibat minimnya pengetahuan. Kelompok LGBT adalah manusia yang sama seperti manusia pada umumnya yang membutuhkan kesetaraan hak, perlindungan serta penerimaan lingkungan. Namun hal tersebut hampir atau bahkan mustahil di dapatkan oleh kelompok LGBT terlebih pada lingkungan sosial dan budaya di Indonesia. Faktor tersebut yang membuat kelompok LGBT menutup diri akan orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender.
Individu heteroseksual lebih diterima masyarakat karena mengacu pada heteronormativitas, sebaliknya individu dengan beragam orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender yang berbeda lebih menonjol dikalangan masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan konformitas yang mengacu pada prokreasi. Banyak orang mengetahui adanya keberadaan kelompok LGBT namun tidak sedikit orang yang mengacuhkan keberadaan mereka. Fakta yang paling menonjol adalah penerimaan seorang waria dilingkungan keluarganya. Banyak dari waria mengaku tidak diterima pihak keluarga atau bahkan diusir karena dianggap membawa aib bagi keluarga.
Berdeda dengan mereka yang cenderung memiliki orientasi seksual lesbian, gay dan biseksual. Masih diterima oleh lingkungan keluarga apabila mereka mengunci rapat apa orientasi seksualnya. Namun ada beberapa keluarga yang mampu menolerir perbedaan orientasi seksual meski penerimaan tersebut masih dalam kategori abu-abu. Artinya adalah mereka diberikan haknya untuk menjalani pilihan sebagai seorang LGBT, tetapi secara kurang rela dan tetap mengharap jika nantinya mereka dapat kembali menjadi seorang heteroseksual.
Secara konseptual, banyak orang Indonesia yang menyatakan bahwa mereka menentang homoseksualitas. Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research yang dikutip dari (Laporan LGBT Nasional Indonesia: Hidup Sehat Sebagai LGBT di Asia. Tinjauan dan Analisa Partisipatif Tentang lingkungan, Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender menyebutkan, sikap terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden survei di dalam negeri dan hanya ada 3% yang bersikap menerima.
Namun, dilain sisi seperti beberapa negara yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis adalah orang-orang yang bersikap liberal, progresif serta memahami secara mendalam prinsip-prinsip hak asasi manusia tentang keragaman orientasi seksual, identitas seksual serta ekspresi gender pada segala aspek. Apabila pihak keluarga tidak mau menerima orientasi seksual mereka, bagaimana jika pihak keluarga mendapati kenyataan bahwa “sudah gay juga terkena HIV/AIDS”. Tentu hal tersebut yang dapat menjadikan salah satu faktor seorang individu gay enggan coming out, sehingga menjadi penghambat individu gay untuk melakukan VCT secara sukarela.

Agama dan Pendidikan Seksualitas
Keluarga merupakan faktor utama yang berpengaruh besar terhadap kehidupan kelompok LGBT, akan tetapi penerimaan keluarga terhadap orientasi seksual individu gay dibatasi karena tekanan sosial serta budaya yang kuat terlebih karena acuan menjadi heteronormativitas dengan tujuan prokreasi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kelompok LGBT adalah agama. Penduduk Indonesia adalah kumpulan orang beragama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Ajaran agama yang ditafsirkan secara konservatif oleh individu-individu religiuslah yang mempengaruhi pandangan masyarakat untuk menolak keberadaan kelompok LGBT. Semakin religius (formalistik) suatu daerah, maka akan semakin besar tantangan yang dihadapi oleh kelompok LGBT, sebab syariat agama akan dibawa untuk dijadikan tameng mendiskriminasi kelompok minoritas tersebut.
Sebagian besar kelompok LGBT yang dibesarkan pada lingkungan yang beragama, pastilah menerima penolakan yang sangat kuat baik pada level keluarga, tempat tinggal maupun lingkungan sekitar yang menginternalisasi homofobia sehingga mereka mengalami kesulitan untuk dapat menerima orientasi seksual, identitas gender serta ekspresi gender mereka sendiri. Mereka seperti di bawah kungkungan dosa karena berbeda seperti orang pada umumnya (straight) terlebih jika para tokoh agama selalu menyuarakan bahwa keberadaan LGBT berlawanan dengan fitrahnya. Seperti yang dikutip pada bukunya Hendri Yulius Coming Out (2015), “Bisakah seorang gay tetap beriman meski melakukan hubungan sesama jenisnya?”.
Pertanyaan tersebut yang sebagian besar menjadi pergulatan batin individu gay untuk mau terbuka akan orientasi seksualnya terlebih bagi mereka yang dinyatakan positif HIV/AIDS. Faktor agama juga diyakini sebagai penghambat individu gay enggan melakukan VCT secara sukarela karena mereka seperti diikuti rasa berdosa dan ketakutan jika nantinya masuk neraka hanya karena orientasi seksual. Perlu diingat bahwa setiap manusia adalah tempatnya salah dan dosa, sehingga bukan berarti karena mereka berbeda dengan orang heteroseksual maka dapat menghakimi kaum homoseksual.
Makna dari pendidikan seksualitas tidak hanya membahas mengenai hubungan intim seseorang saja namun juga persoalan mengenai keragaman gender, orientasi seksual, identitas seksual, ekspresi gender, perilaku seksual, kekerasan seksual, pornografi serta kesehatan reproduksi. Seksualitas merupakan suatu pemahaman diri yang saling berkesinambungan antara isu seksual, politik, kesehatan, sosial, ekonomi, hukum, maupun budaya sehingga jika berbicara mengenai seksualitas, maka tidak dapat berdiri sendiri.
Michel Foucault dalam bukunya La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite (Ingin Tahu Sejarah Seksualitas), menjelaskan sejak abad ke-17, seksualitas kerap diperbincangkan pada berbagai kelas sosial meski secara sembunyi-sembunyi karena saat zaman tersebut membicarakan seksualitas adalah hal yang dilarang. Sejak abad ke-18, seks tidak henti-hentinya menimbulkan semacam dorongan yang semakin besar untuk membentuk wacana oleh karenanya karena dorongan akan wacana seksualitas semakin mengalir yang membuat Foucaultpun akhirnya menulis tentang penyimpangan. Hingga abad ke-18, tiga kode eksplisit digunakan sebagai acuan di samping kebiasaan adat istiadat dan kendala pendapat umum menguasai kegiatan seksual seperti hukum agama, ajaran pastoral kristen dan hukum perdata. Kode yang beragam tersebut tidak memisahkan secara jelas antara pelanggaran atas aturan perkawinan maupun penyimpangan yang bersifat genital. Berbicara mengenai seksualitas juga tidak terlepas dari sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada kebiasaan yang mengandung dosa. Homoseksualitas diyakini muncul sebagai salah satu perwujudan seksualitas ketika dialihkan dari praktik sodomi menjadi semacam androgini batin maupun hermaphrodisme jiwa (2008: 56-66).
Pendidikan seksualitas juga sebaiknya memberikan pengetahuan serta informasi seputar kesehatan dan kesejahteraan kelompok LGBT di Indonesia terutama yang terkait dengan isu HIV/AIDS dan penyakit menular seksual yang tidak hanya ditujukan bagi mereka yang heteroseksual. Oleh karena itu, kurangnya pendidikan akan seksualitas baik pada kelompok LGBT maupun masyarakat umum dapat menimbulkan pertentangan keberadan kelompok minoritas tersebut. Individu gay juga semakin diliputi rasa tidak percaya diri akan orientasi seksualnya yang berbeda, sehingga dapat menjadikan faktor penghambat individu gay untuk tidak mau melakukan VCT secara sukarela terlebih jika nantinya dinyatakan positif.
Dari penjabaran di atas, individu gay yang mau melakukan VCT secara sukarela terdorong oleh rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri. Individu gay mendapat saran dan dorongan dari teman, keluarga, dan pendamping.  Selain itu, diperlukan upaya terintegrasi antara lain Dinas Kesehatan, LSM, keluarga, teman serta masyarakat, terkait dengan perubahan perilaku seks berisiko. Pada gilirannya, upaya-upaya untuk melawan stigma dilakukan dengan cara-cara yang ditempuh masyarakat pada umumnya. Hal ini membuktikan kelompok ini merupakan individu yang sama dengan lainnya sebagai sesama manusia. Orientasi seksual bukanlah pembeda kedudukan dalam lanskap kemanusiaan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta menjadi salah satu bahan pertimbangan masyarakat untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas terlebih LGBT apapun alasannya. Karena pada hakikatnya, semua manusia adalah sama. Hapus seluruh stigma, karena mereka bagian dari kita!

*Artikel ini diikutkan dalam Lomba Menulis Artikel ASEAN Literary Festival 2017 bertema "Keberagaman Gender dan Seksualitas".