kamus

Jumat, 09 Maret 2018

Pengayuh Itu Bernama "Mbah Getek"

"Semarang Kaline Banjir"
Merupakan tagline yang sering kita dengar dan tidak asing lagi di telinga kita. Tagline yang memiliki arti "Semarang Sungainya Banjir /Meluap" memang terkesan negatif, akan tetapi tagline tersebut memiliki arti tersendiri bagi warganya. Tidak seperti yang dibayangkan pada tagline tersebut, kini Kota Semarang memiliki sungai yang selalu bersih dan nyaman untuk kita kunjungi seraya menikmati Kota Atlas yang penuh cinta tersebut.

Semarang sendiri memiliki beberapa sungai, salah satu yang terbesar adalah sungai "Banjir Kanal". Oleh sebab itu banjir kanal merupakan sungai yang paling tersohor dibanding yang lain. Banjir kanal sendiri memiliki dua aliran yaitu "Banjir Kanal Barat dan Timur". Dan kali mata saya tertuju pada pemandangan yang tak biasa ketika saya melewati sungai "Banjir Kanal Barat".

Memasuki pintu gerbang daerah Semarang Indah, kita disuguhkan pemandangan sungai di sepanjang kawasan Banjir Kanal Barat. Pepohonan yang tumbuh di sekelilingnya menambah asri suasana. Angin sepoi-sepoi seraya menyapa kita pada suguhan keindahan di salah satu sudut Kota Semarang.

Tak disangka, dari kejuahuan terlihat satu pemandangan unik dan tak biasa. Orang-orang berkerumun di pinggir sungai, mengayun-ayunkan tangannya seraya memanggil perahu kayu untuk segera berlabuh menghampiri. Sebut saja perahu getek. Benar saja, sebuah perahu kayu usang dengan warna cat yang mulai memudar itu menghampiri gerombolan orang di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Lucunya, perahu tersebut berjalan sambil ditarik seutas tali tambang dari kiri ke kanan.

Perlahan tapi pasti, perahu mulai melaju mengikuti irama tangan sang nahkoda. Tampak pria setengah baya berkulit coklat gelap menarik-narik tali hingga ke tempat tujuan.
Karena penasaran, saya hidupkan mesin kendaran bermotor dan mencoba mendekati perahu yang dimaksud. Dengan ramah, sang nahkoda mempersilahkan naik dan kamipun berbincang santai di atas perahu kayu tersebut.

Ditemani dengan gemuruh angin kencang, membuat perbincangan kami semakin hangat. Mbah Getek, begitu orang-orang menyebutnya.
Pria yang disapa Sulistyono ini memulai pekerjaan sebagai pengemudi perahu seberang hampir 12 tahun, semenjak tahun 1995 silam. Pria kelahiran Semarang, 6 November 1983 menuturkan, sebelum menggunakan perahu seberang yang ditarik tali, ia terlebih dahulu menggunakan perahu getek. Itu mengapa orang-orang menyebutnya "Mbah Getek" hingga kini.

“Dulu masih perahu yang terbuat dari pring biasanya disebut getek, sekarang terbuat dari kayu terus ditarik tambang”, tuturnya.

Perahu seberang tersebut adalah buah pemikiran lantaran banyak anak sekolah serta para pekerja yang harus berputar dulu untuk sampai ke jalan yang sebelah (kokrosono). Karena tidak tersedianya akses jembatan yang dekat, akhirnya ia berinisiatif menciptakan perahu sebagai transportasi (menyebrang) masyarakat sekitar. Perahu tersebut sengaja dipesannya langsung dari pengrajin di daerah Demak.

Perahu seberang dapat ditemui setiap hari mulai pukul setengah 6 pagi hingga pukul setengah 6 sore dengan tarif sebesar Rp. 1000 untuk anak sekolah dan Rp. 2000 untuk umum. Jika ada barang yang diangkut seperti sepeda, tidak dikenakan biaya tambahan. Perahu dapat mengangkut sedikitnya 15 orang sekali jalan. Masih menurut penuturan sang nahkoda,  Ramaianya penumpang perahu tersebut pada jam-jam tertentu, sekitar jam 6 sampai 8 pagi dan jam 3 sampai 5 sore.

Banyak suka duka yang ia alami selama menjadi pengemudi perahu seberang. Tanpa kenal lelah, Mbah Getek tetap berjuang untuk menghidupi diri dan anak semata wayangnya. Baginya, bekerja adalah sebuah keharusan, meski pasang surut, ia tetap ikhlas dalam menjalaninya.

“Sukanya karena bisa mendapatkan uang. Kerjanya juga santai sambil menikmati pemandangan. Dukanya kalau musim hujan airnya meluap, kalau udah gitu kadang gak narik. Kalau air surut, lumpurnya mengendap di tengah, air tidak bisa mengalir lancar otomatis kapal juga gak bisa jalan", tutur Mbah Getek kepada saya.
Saat sang nahkoda mencoba menceritakan kisahnya selama menjadi penarik perahu seberang, ada semburat kesedihan yang terlihat jelas dari wajah sayunya. Meski tampak tegar saat bercerita, kesedihannya tak dapat tertutupi. Saya memahami getirnya kehidupan yang dialami Mbah Getek, meski tak dapat merasakan kesedihanya.

Sebenarnya, ada perasaan takut ketika saya mencoba menaiki kapal tersebut, karena tidak ada alat pengaman khusus yang digunakan untuk menjaga keselamatan penumpang. Tetapi Mbah Getek dapat menjamin keselamatan penumpangnya selama perjalanan.

“Tidak perlu ada yang ditakutkan karena saya dapat membaca situasi air di sungai ini”, tutur Mbah Getek mencoba meyakinkan.

Mbah Getek juga menjelaskan, jika hujan mulai turun, ia akan menarik perahunya ke pinggir sungai dan menaikkan tali yang menghubungkan antara dua jalan. Hal tersebut sebagai antisipasi jika air meluap, kapalnya tidak hanyut terbawa air.
Ia juga menuturkan bahwa selama ini tidak ada perhatian dari pemerintah. Dengan adanya proyek pelebaran sungai Banjir Kanal Barat serta pembuatan jembatan bagi pejalan kaki di dekat rel kereta api, penghasilannya kini berkurang. Yang semula mencapai Rp. 250.000/ hari kini hanya Rp. 130.000/ hari. Mbah Getek berharap semoga pemerintah memberikan tempat baginya untuk lebih berkreasi, seperti menjadikan Banjir Kanal Barat sebagai objek wisata air.

“Lebih di tata lagi, sampahnya dibersihkan. Selain itu, tepi sungai dipercantik, terus bisa untuk jualan. Tempatnya makin ramai, kan lumayan bisa tambah-tambah penghasilan masyarakat setempat”.

Tak terasa, hari mulai gelap. Sayapun bergegas untuk berpamitan. Dengan mengulas senyum dan melambaikan tangan, saya segera pergi meninggalkan Mbah Getek. Mungkin, itu sebuah pertemuan yang luar biasa. Dimana saya bisa belajar untuk lebih membuka mata, menghargai apa yang saya miliki saat ini dan tak lupa untuk selalu mengucap syukur.

Meski pertemuan saya dengan Mbah Getek tanpa disengaja, tapi saya yakini bahwa ini bukan sebuah kebetulan semata. Ini merupakan cara Tuhan memberikan pemahaman dan nasehat kepada saya melalui Mbah Getek.

Dan sebuah pelajaran yang dapat saya ambil adalah, bagaimanapun kehidupan kita saat ini, tetaplah bersyukur dan jangan berhenti untuk selalu bersyukur. Karena dari rasa syukur tersebut, kita akan mengetahui apa arti ikhlas yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar